Sertifikasi Tanah Adat dalam Perspektif Hukum Agraria

www.notarisdanppat.com – Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Indonesia khususnya mereka yang ikut merasakan zaman penjajahan, bahwa hak atas tanah yang mereka miliki sering kali tidak memiliki bukti Sertifikat Tanah. Sedangkan dewasa ini Sertifikat Tanah merupakan hal mutlak yang harus dimiliki oleh pemegang hak atas tanah. Bagaimanakah cara untuk mendapatkan sertifikat tersebut, jika tanah yang dimiliki hanya berdasarkan kepemilikan menurut adat setempat ?

Sebelum membahas lebih lanjut tentang tata cara pensertifikatan Tanah Adat, baiknya kita pahami terlebih dahulu dasar hukumnya. Sertifikasi tanah sebenarnya merupakan bagian dari bentuk “pendaftaran tanah” dari Rakyat oleh Negara. Dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, pendafaran tanah meliputi:

  1. Pengukuran, perpepetan dan pembukuan tanah;
  2. Pendafataran hak-hak atas tanah dan peralihan hak tersebut;
  3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, sebagaimana alat pembuktian yang kuat.

Ketentuan yang lebih rinci terkait dengan pendaftaran tanah ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.10 Tahun 1961 tentang Pendafataran Tanah. PP tersebut terakhir dirubah dengan PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam pasal 1 angka 1 PP tersebut dijelaskan bahwa pendaftaran tanah adalah:

…rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, melimputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Dari definisi tersebut dalam diuraikan beberapa poin penting terkait pendaftaran tanah, yakni:

  1. Adanya serangkaian kegiatan;
  2. Dilakukan Pemerintah;
  3. Terus menerus dan berkesinambungan;
  4. Teratur;
  5. Bidang tanah dan satuan rumah susun;
  6. Surat tanda bukti hak;
  7. Hak tertentu yang membebaninya.

Sertifikat Tanah sendiri menurut PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah didefiniskan sebagai tanda atau surat keterangan (pernyataan) tertulis atau tercetak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti pemilikan atau suatu kejadian.

Sertifikasi Tanah Adat dalam Perspektif Hukum Agraria Selenjutnya, terkait dengan “Tanah Adat” ada dua jenis tanah adat yang umumnya dimaksud oleh masyarakat yang belum secara dalam memahami hukum:

  1. Tanah Girik yaitu tanah bekas milik hak adat yang belum didaftarkan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Bukti kepemilikan hak atas tanah girik umumnya berupa bukti penguasaan hak atas tanah dari Desa (SKT) atau bukti pembayaran pajak atas tanah. Peralihan tanah girik ini umumnya dengan pewarisan secara turun-temurun.
  2. Tanah ulayat,   Tanah milik masyarakat ulayat hukum adat, yang bentuknya seperti: tanah titian, tanah pengairan, tanah kas desa, tanah bengkok. Berbeda dengan Tanah Girik, tanah jenis ini tidak bisa didaftarkan dan memperoleh sertifikat begitu saja. Kalaupun ada caranya adalah dengan tukar guling.

Berkaitan dengan jenis Tanah Girik, mereka yang memiliki bukti penguasaan atas tanah Girik tersebut dapat mendafaftarkan tanahnya tanpa melalui proses jual-beli terlebih dahulu. Artinya secara otomatis apabila administrasi telah terpenuhi, maka ia bisa mendapatkan sertifikat tanah. Adapun jika proses peralihan tanah tersebut adalah dengan warisan makan berlaku ketentuan harus dibuatkan keterangan hak waris  dan prosedur waris seperti umumnya.

Adapun tata cara pendafataran tanah girik ini, untuk mendapatkan sertifikat tanah adalah sebagai berikut:

  1. Surat Rekomendasi dari lurah/camat perihal tanah yang akan didaftarkan
  2. Membuat surat bebas sengketa dari RT/RW/Lurah
  3. Formulir Permohonan dari pemilik tanah untuk pembutan sertifikat (formulir ini dapat diperoleh di BPN)
  4. Surat kuasa (apabila pengurusan dikuasakan kepada orang lain, misalnya Petugas Pembuat Akta Tanah)
  5. Identitas pemilik tanah (pemohon) yang dilegalisasi oleh pejabat umum yang berwenang (biasanya Notaris) dan/atau kuasanya, berupa fotokopi KTP dan Kartu Keluarga, surat keterangan waris dan akta kelahiran (jika permohonan penyertifikatan dilakukan oleh ahli waris)
  6. Bukti kepemilkan sah atas tanah (bisa berupa keterangan girik)
  7. Surat pernyataan telah memasang tanda batas tanah
  8. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) dan Surat Tanda Terima Sementara (STTS) tahun berjalan.

Perlu diketahui bahwa untuk melakukan pendaftaran tanah ini diselenggarakan oleh Badan Petanahan Nasional (BPN) yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Adapun menurut Pasal 9 ayat (1) PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang dapat menjadi objek pendaftaran tanah meliputi:

  1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai hak milik, hak guna usah, hak pakai dan hak guna bangunan.
  2. Tanah hak pengelolaan.
  3. Tanah wakaf.
  4. Hak milik atas satuan rumah susun.
  5. Hak tanggungan.
  6. Tanah negara.

Baca Juga

  1. Pendafataran Tanah Hibah Bangunan Gereja Menurut UUPA
  2. Hak Atas Ruang Angkasa Indonesia
  3. Hak Waris Atas Tanah WNA Dalam Perspektif Hukum Islam

 

Terkait dengan jangka waktu pengurusan sertifikat tanah, umumnya memerlukan waktu sekitar 6 bulan jika memang tidak ada sengketa dan seluruh persyaratan lengkap. Sementara itu, untuk biaya pengurusan biasanya tergantung luas tanah dan letak geografis tanah, semakin luas dan semakin strategis letak tanah maka biaya pengurusan juga semakin mahal. Sertifikasi Tanah Adat dalam Perspektif Hukum Agraria

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *