www.notarisdanppat.com – Secara etimologi takaful berasal dari bahasa arab “ takâfala-yatakâfalu-takâfulan “ yang berarti saling menjamin, saling menjaga dan saling memelihara.
Takaful ini dalam bahasa Indonesia semakna dengan kata asuransi yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam atau biasa dialih bahasakan dengan asuransi syariah. Selain takaful, kata asuransi syariah ini juga sering disebut dengan istilah al-ta’min. Sedangkan al-ta’min sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat menjamin kehidupan dan jaminan terhadap resiko atau bahaya yang akan datang.
Berdasar pada pengertian etimologi ini dapat dipahami bahwa dalam asuransi syariah atau takaful atau al-ta’min ini terdapat unsur tanggung-menanggung terhadap sesuatu di mana dapat menjamin keberlangsungan hidup dan menjamin atas resiko terhadap bahaya yang akan dialami oleh seseorang.
Adapun takaful menurut ‘Abd Allâh Nâsih ‘Ulwân mendefinisikan takaful dari segi istilah adalah kesepakatan antara masyarakat untuk saling menjamin dan saling membantu, baik individu maupun berkelompok, baik para pemimpin atau rakyat dengan mengambil tindakan-tindakan positif seperti memelihara anak yatim dan mengharamkan segala bentuk yang negatif seperti monopoli pasar dan sebagainya.
Dalam perspektif ini ‘Abd Allâh Nâsih ‘Ulwân mendefinisikan takaful sebagai suatu bentuk perikatan yang sangat luas, termasuk di dalamnya konsep tadhamun atau menanggung seseorang berdasarkan otoritas yang dimiliki.
Sedangkan at-ta’min dalam Ensiklopedi Hukum Islam sebagaimana dikutip oleh Wirdyaningsih didefinisikan sebagai transaksi perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Definisi ini tampaknya lebih menenkankan pada aspek kewajiban satu pihak dengan pihak lainya sebagai akibat dari kesepakatan yang dibuatnya.
Al-Fanjari mengartikan tadhamun, takaful, at-ta’min atau asuransi syariah dengan pengertian saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Ia membagi ta’min ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu ta’min at-ta’awuniy, ta’min at-tijari, dan ta’min al-hukumiy.
Usaid Hamid Hisan menguraikan bahwa asuransi adalah sikap ta’awun yang telah diatur melalui sistem yang rapi, diantara sebagian besar manusia. Asuransi adalah ta’awun,yaitu saling menolong dalam berbuat kebajikan dan takwa. Karena itu, ta’awun di antara sesama manusia berarti saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya (malapetaka) yang mengancam mereka.
Lebih khusus, menurut fatwa DSN MUI, takaful adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
Dari beberapa definisi di atas, dengan melihat tataran praktis dari asuransi syariah khususnya di Indonesia, tampak bahwa definisi yang diberikan oleh DSN MUI merupakan definisi yang paling representatif untuk menggambarkan konsep takaful atau asuransi syariah.
Hal ini sebagaimana diatur dalam PMK No.18/PMK.010/2010 tentang penerapan prinsip dasar penyelenggaraan usaha asuransi dan usaha reasuransi dengan prinsip syariah, sebagai berikut:
- Perusahaan wajib memisahkan kekayaan dan kewajiban dana tabbaru’ dari kekayaan dan kewajiban perusahaan.
- Perusahaan asuransi jiwa memasarkan produk asuransi dengan prinsip syariah yang mengandung unsur investasi, wajib memisahkan kekayaan dan kewajiban dan investasi peserta dari kekayaan dan kewajiban perusahaan maupun dari kekayaan dan kewajiban dana tabbaru’.
- Perusahaan wajib membuat catatan terpsiah untuk kekayaan dan kewajiban perusahaan, dana tabbaru’ dan dana investasi peserta.
Kekayaan dan kewajiban dana tabbaru’ merupakan kekayaan dan kewajiban dana peserta secara kolektif, untuk itu perusahaan wajib menggunakan dana tabbaru’ hanya untuk:
- Pembayaran santunan kepada peserta yang mengalami musibah atau pihak lain yang berhak.
- Pembayaran reasuransi.
- Pembayaran kembali Qardh perusahaan, dan’
- Pengembalian dan tabbaru’ akibat pembatalan polis dalam periode yang diperkenankan.
Selanjutnya, dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) yang tertuang dalam fatwa No.53/DSN-MUI/III/2006 menjelaskan bahwa dana tabbaru’ dalam asuransi syariah adalah semua bentuk akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebaikan dan tolong-menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersil. Akad tabbaru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi dan bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis. Dalam akad tabbaru’ sekurang-kurangnya menyebutkan sebagai berikut:
- Hak dan kewajiban peserta secara individu;
- Hak dan kewajiban antar peserta secara individu dalam akun tabbaru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok;
- Cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;
- Syarat-syarat lain yang disepakati sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Konsep akad tijarah. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial. Dalam praktiknya terdapat 3 (tiga) jenis akad tijarah yang sering digunakan guna menyertai akad takaful dalam asuransi syariah, yaitu wakalah bil-Ujrah, Mudharabah dan gabungan keduanya. Adapun secara ilustratif, aplikasi dari bentuk akad tijarah tersebut adalah sebagai berikut:
- Wakalah bil Ujrah
Dalam tataran praktik, bisnis asuransi umum syariah menggunakan dua landasan akan yaitu akad tabbaru’ dan akad wakalah bil Ujrah. Kedua akad ini sebagai dasar atas keberadaan dana peserta tabbaru’ dan dana ujrah. Adapun akad yang digunakan antara peserta dengan pengelola dalam asuransi syariah adalah akad wakalah bil ujrah. Menurut DSN MUI yang tertuang dalam fatwa No.52/DSN-MUI/III/2006 tentang akad wakalah bil ujrah pada asuransi dan reasuransi syariah, wakalah bil ujrah adalah pemberian kuasa kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan pemberian ujrah (fee). Obyek akad wakalah bil ujrah meliputi kegiatan administrasi, pengelolaan dana pembayaran klaim, underwriting, pengelolaan portofolio resiko, pemasaran, dan investasi. Dalam akad wakalah bil ujrah, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
- Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
- Besaran, cara, dan waktu pemotongan ujrah;
- Syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Kedudukan dan ketentuan para pihak dalam akad wakalah bil ujrah menurut fatwa DSN-MUI tersebut adalah:
- Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk mengelola dana;
- Peserta individu dalam product saving bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa).
- Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akad tabbaru’ bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana;
- Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali izin muwakkil (pemegang polis);
- Akad wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan tanggungan (yad dhamanah) sehingga wakil tidak menanggung resiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi fee yang telah diterimannya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi;
- Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi, karena akad yang digunakan adalah akad wakalah.
Baca Juga Tata Cara Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase
Konsep Akad Mudhârabah. Mudhârabah merupakan transaksi antara pengelola dan pemilik dana, di mana keuntungan dibagi menurut prosentase yang disepakati kedua belah pihak. Dalam hal ini, dana tabbaru’ peserta dan perusahaan, perusahaan adalah sebagai pengelola dana, sedangkan peserta sebagai pemilik dari dana perusahaan, yang bisa menginvestasikan dananya ke tempat lain untuk dikelola sesuai dengan ketentuan syariah.