www.notarisdanppat.com – Dimana ada masyarakat pasti ada hukum dan hukum itu sendiri di atur di dalam UU (undang – undang). Oleh karena itu, hukum itu ada karena setiap orang mempunyai kepentingan, dan perlu untuk membatasi atau mencegah benturan kepentingan antar indi vidu, agar hukum bisa lahir, seperti hal nya dunia usaha di Indonesia.
Demikian pula untuk mengatur kehumasan yang berkaitan dengan bisnis untuk merumuskan hukum bisnis, setiap orang di Indonesia harus mematuhi nya. Oleh karena itu, jika ada suatu kasus atau permasalahan di bidang hukum dagang, maka harus di selesaikan dengan undang – undang atau aturan yang terkait dengan kasus tersebut. Dan di Indonesia sendiri terdapat ba nyak sekali permasalahan yang cukup pelik dalam dunia bisnis.
Pengertian Perlindungan Konsumen
Konsumen merupakan orang yang menggunakan barang / jasa yang telah tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, atau kepentingan lain, dan bukan untuk di perjualbelikan. Jika tujuan membeli suatu produk adalah untuk di jual kembali, maka di sebut pengecer atau di stributor. Misal nya, penjual di haruskan menunjukkan price tag sebagai tanda untuk memberi tahu konsumen. Mengenai perlindungan konsumen, UU No. 8 tahun 1999 Negara Kesatuan Republik Indonesia menjelaskan bahwa hak konsumen meliputi hak untuk menikmati ke nyamanan, keselamatan dan keamanan pada saat mengkonsumsi nya. Hak untuk menerima layanan, hak untuk di perlakukan atau di layani dengan benar dan jujur tanpa diskriminasi, jika barang dan / atau layanan yang di terima tidak sesuai dengan kesepakatan atau tidak memenuhi persyaratan, maka ada hak untuk menerima kompensasi, kompensasi dan / atau penggantian, dll.
Contoh Pelanggaran Perlingungan Konsumen dalam Kasus bisnis Indonesia
Salah satu kasus yang cukup besar terjadi adalah kasus Prita Mulyasari yang menimpa diri nya dengan RS Omni Internasional dan belum bisa kita lupakan. Prita adalah mantan pasien RS Omni Internasional yang pernah menyampaikan pengaduan tentang pelayanan RS dan menyebarkan pengaduan tersebut melalui media elektronik atau internet. Kemudian RS Omni merasa bahwa reputasi nya yang baik telah ternoda, dan kemudian membawa persoalan tersebut ke ranah hukum. Apalagi, sejak Surat Keterangan Nomor 1 UU ITE, kasus Prita menjadi kasus perdata. Beberapa kasus yang terjadi di dunia usaha Indonesia, seperti penyimpangan, justru menempatkan konsumen layanan kesehatan pada posisi yang sangat lemah, terutama ketika Surat Keterangan ITE itu di keluarkan. Upaya melindungi konsumen tidak boleh cuma samapai disini, harus habis – habisan, namun tetap perlu dukungan sumber daya manusia yang kompeten dan bertanggung jawab untuk menjauhkan mereka dari budaya suap dan fitnah ini. Prosedur hukum harus di laksanakan secara arif dan sesuai dengan peraturan perundang – undangan, sehingga lembaga peradilan negara hukum dapat mencerminkan keadilan. Perlu pendampingan hukum dari penasehat hukum terkait, yakni bagaimana agar Prita sebagai konsumen mendapatkan upaya hukum dan upaya hukum yang sesuai sehingga Pasal 27 ayat 3 UU ITE dan KUHP bisa memuaskan nya. Sebagai media pembelajaran sosial hendak nya mengadu kepada pihak yang berwenang, seperti LSM di nas kesehatan atau YLKI.
Prita sengaja mengeluhkan apa yang terjadi dan apa yang terjadi dengan pelayanan RS Omni Internasional, yang merupakan contoh penerapan UU Perlindungan Konsumen yang tidak jelas. Sekali lagi, tidak jelas! Kasus penahanan Prita merupakan potret ketidakseimbangan posisi tawar antara produsen dan konsumen, yang mungkin tidak hanya terjadi di bidang kesehatan. Ketidakseimbangan posisi tawar ini mempengaruhi perilaku komersial produsen dan konsumen. Produsen akan melakukan yang terbaik untuk menguntungkan bisnis mereka, dan konsumen akan melakukan yang terbaik untuk me nyampaikan keluhan. Dalam kasus hukum bisnis Prita, perta nyaan nya sekarang adalah mengapa Prita tidak mengadu ke customer service agency yang sah? Sistem hukum Indonesia mungkin belum mendukung nya. Selain itu, mekanisme penangkapan Prita juga mencerminkan kewajaran sistem hak – hak konsumen yang jelas di lindungi undang – undang Indonesia.
Penjelasan Mengenai UU Perlindungan Konsumen (Pasal 4B UU No.8 Tahun 1999)
- Hak atas kenyamanan, keselamatan dan keamanan barang dan / atau jasa konsumen.
- Hak untuk mengoreksi informasi tentang status dan jaminan barang dan / atau jasa, informasi yang jelas dan jujur.
- Hak untuk mengutarakan pendapat dan keluhan tentang barang dan / atau jasa yang di gunakan.
- Hak atas advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen yang sesuai.
- Hak untuk menerima bimbingan dan pendi di kan konsumen.
- Hak untuk menerima perlakuan atau layanan yang benar dan jujurtanpa di skriminasi.
- Apabila barang dan / atau jasa yang di terima tidak sesuai dengan kesepakatan atau persyaratan, kamu berhak atas kompensasi, kompensasi dan / atau penggantian.
Terkait hak konsumen, apabila barang dan / atau jasa yang di terima atau di gunakan tidak sesuai dengan kesepakatan (Pasal 7g UU Perlindungan Konsumen), pelaku komersial juga wajib memberikan kompensasi, kompensasi dan / atau penggantian. Sayang nya, akibat pelanggaran Pasal 4 dan 7 UU Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Konsumen tidak memberikan sanksi tegas. Namun, apabila kamu sebagai konsumen mengalami kerugian akibat, contoh pelayanan rumah sakit tersebut, maka menurut Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha bertanggung jawab atas kerusakan, pencemaran, dan kerusakan akibat konsumsi barang dan / atau jasa. / Atau memberikan kompensasi atas kerugian konsumen dalam produksi atau perdagangan.
Selain itu, di mungkinkan untuk mengembalikan atau mengganti barang dan / atau jasa yang nilai nya sama atau setara, atau memberikan perawatan kesehatan dan / atau memberikan santunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Kompensasi akan di berikan dalam masa tenggang tujuh (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. Jika langkah ini tidak berhasil, gugatan perdata dapat di ajukan melalui lembaga yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku komersial atau pengadi lan di pengadi lan biasa (Pasal 45 (1) Undang – Undang Perlindungan Konsumen). Selain melalui pengadi lan, sengketa antara kamu dan penjual juga dapat di selesaikan di luar pengadi lan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa (Pasal 45 (2) UU Perlindungan Konsumen).
baca juga
Undang – Undang Perlindungan Konsumen menekankan bahwa perlindungan konsumen di maknai sebagai upaya menjamin kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, bahkan konsumen berhak memperoleh informasi yang benar, hak yang jelas, keluhan dan hak untuk memperoleh perlindungan hukum. Dengan demikian, dari kasus hukum bisnis Indonesia yang terkait dengan perlindungan konsumen, dapat di analisis apakah sudah konsisten antara apa yang seharus nya dan apa yang seharus nya.