Pajak untuk Bisnis E-Commerce : Jangan Sampai Cuan Lo Bocor

notarisdanppat.com Pajak untuk Bisnis E-Commerce: Jangan Sampai Cuan Lo Bocor Karena Pajak yang Gak Diatur , Lo buka dashboard Shopee, Tokopedia, TikTok Shop. Order jalan. Review bagus. Campaign perform. Tapi satu hal selalu lo skip: pajak. Bukan karena lo males. Tapi karena lo bingung mulai dari mana.

Bisnis e-commerce kelihatannya simpel. Lo upload produk, jualan, promosi, dan nunggu transferan. Tapi sistem pajak di balik itu makin canggih. Marketplace sekarang nyambung ke DJP. Payment gateway juga. Semua transaksi bisa direkam otomatis. Dan saat sistem lebih dulu tahu penghasilan lo dibanding lo sendiri, lo gak bisa lagi main tebak-tebakan.

Hal pertama yang harus lo tahu adalah pajak e-commerce bukan satu jenis. Lo bisa kena beberapa pajak sekaligus tergantung gimana cara lo jualan, lewat platform apa, dan omzet lo udah sampai mana.

Kalau lo jualan lewat marketplace, misalnya Shopee atau Tokopedia, mereka otomatis potong dan setor PPN 11%. Tapi itu bukan berarti lo bebas dari kewajiban. Karena lo tetap harus lapor. Lo tetap harus tau total omset, dan apakah penjualan lo kena PPh Final atau enggak.

Kalau lo jualan dari website sendiri, gak ada yang potongin buat lo. Lo harus pungut PPN sendiri, setor sendiri, dan bikin e-Faktur. Tapi lo juga harus tau: lo cuma wajib pungut kalau lo udah terdaftar sebagai PKP (Pengusaha Kena Pajak). Dan syaratnya, omzet setahun lo lebih dari 4,8 miliar.

Tapi banyak pelaku e-commerce yang omzetnya belum segede itu. Mereka masuk kategori UMKM. Dan di situ, lo bisa kena PPh Final 0,5% dari omzet.
Bukan dari laba. Bukan dari untung. Tapi dari total penjualan.
Dan lo harus setor dan lapor tiap bulan, walau kecil.

Masalah yang sering muncul? Data dari marketplace gak disatukan. Jualan di tiga tempat, tapi cuma setor dari satu. Padahal DJP bisa ngeliat semuanya. Shopee, TikTok, bahkan website lo pakai Midtrans atau Xendit, semua itu udah nyambung ke sistem.

Lo juga harus tau, kalau lo punya tim: admin, CS, staff gudang. Gaji mereka bisa masuk ranah PPh 21. Dan kalau lo udah rutin gaji orang, lo harus belajar soal kewajiban sebagai pemberi kerja.

baca juga

Kalau lo kerja sama influencer dan kasih fee atau komisi, itu juga ada pajaknya. Bahkan biaya iklan di platform luar seperti Meta dan Google juga kena PPN Digital (PMSE). Dan lo harus simpan invoice-nya buat bukti beban operasional saat lapor pajak penghasilan.

E-commerce kelihatannya digital. Tapi yang nilai adalah angka. Dan angka-angka itu harus nyambung ke sistem pajak.

Gue gak bilang lo harus urus semua sendiri. Tapi lo harus tau gambar besarnya. Lo harus punya sistem. Minimal, lo rekap penjualan tiap channel. Lo pisahin pengeluaran pribadi dan usaha. Lo simpan semua invoice dan laporan penjualan. Dan lo tau kapan harus setor, kapan harus lapor, dan kapan harus minta bantuan.

Kalau lo udah punya omzet ratusan juta sebulan, tapi belum pernah setor pajak sama sekali, lo bukan hebat. Lo rawan. Dan makin besar lo tumbuh, makin besar lo kelihatan.

Sekarang bukan saatnya lo ngumpet. Sekarang saatnya lo bikin sistem.

Karena pajak bukan musuh. Pajak itu bukti kalau lo bisnis beneran. Dan bisnis yang bener itu bukan cuma soal angka besar — tapi soal lo ngerti aturan mainnya.

Kalau lo belum yakin bisa urus sendiri, lo bisa gandeng konsultan pajak yang ngerti e-commerce. Yang ngerti cara nyatuin laporan dari berbagai platform. Yang bisa bantu lo setor dengan efisien. Yang bisa jaga lo dari potensi koreksi dan denda.

Karena bisnis digital itu bukan bisnis musiman. Lo bukan jualan coba-coba. Dan kalau lo niat jalanin ini jangka panjang, lo harus siap dari sekarang.

Bukan buat takut. Tapi buat buktiin: lo gak cuma jualan. Lo bangun bisnis. Dan bisnis itu harus bisa tahan — bahkan di hadapan negara

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *