notarisdanppat.com – MACAM-MACAM DOKUMEN PROPERTI , Bisnis Properti di tanah air semakin berkembang pesat sehingga
perlu didukung regulasi yang memadai, termasuk regulasi tentang pengurusan perizinan Dokumen Properti. Pada bab ini hanya akan diulas hal-hal pokok tentang Dokumen Properti, sedangkan penjelasan lebih rinci tentang prosedur mendapatkan Dokumen Properti dapat dibaca pada buku karya Penulis Bertiga berjudul “Panduan Lengkap Mengurus Dokumen Properti” yang diterbitkan Pustaka Yustisia, Yogyakarta, Maret 2012.
Secara umum ruang lingkup Dokumen Properti mencakup segala macam perizinan yang berkaitan dengan aspek:
1. tanah,
2. bangunan,
3. air tanah (air bawah tanah),
4. tata ruang,
5. perpajakan,
6. perizinan terkait lainnya.
A. DOKUMEN PROPERTI YANG TERKAIT DENGAN
TANAH
Dokumen Properti yang terkait dengan Tanah dapat berupa:
1. Sertifikat hak-hak atas tanah (Hak Milik, HGB, HGU, Hak Pakai, Hak Sewa),
2. Dokumen perubahan Tanah Girik menjadi Hak Milik,
3. Akta Pemberian Hak Tanggungan,
4. Akta jual beli tanah dan akta pengalihan hak atas tanah lainnya,
5. Dokumen pengalihan Tanah Negara menjadi tanah berstatus Hak Milik/HGB/HGU/Hak Pakai/Hak Pengelolaan,
6. Dokumen perubahan status tanah Hak Milik menjadi HGB/Hak Pakai,
7. Dokumen perubahan status tanah HGB menjadi Hak Pakai, 8. Dokumen perubahan status tanah HGB menjadi Hak Milik, 9. Dokumen pemecahan, pemisahan dan penggabungan tanah, 10. Dokumen perjanjian sewa tanah, dan lain-lain.
Negara memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur masalah pertanahan di Indonesia. Negara wajib memberikan perlindungan hukum atas tanah yang dimiliki rakyat agar pihak lain yang tidak berkepentingan tidak dapat mengambil hak atas tanah tersebut. Oleh karena itu, Negara berhak memberikan hak kepemilikan dan hak penguasaan a tanah kepada individu atau badan hukum serta membuat peraturan- peraturan yang berkaitan tentang hukum pertanahan di Indonesia.
Dengan demikian, secara garis besar hak atas tanah di Indonesia dibagi
atas dua hal, yakni:
1. hak yang dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum,
2. hak yang dikuasai oleh Negara.
Macam-Macam Hak Atas Tanah sesuai Pasal 16 UUPA, meliputi:
1. Hak Milik,
2. Hak Guna Usaha (HGU),
3. Hak Guna Bangunan (HGB),
4. Hak Pakai,
5. Hak Sewa,
6. Hak Membuka Tanah,
7. Hak Memungut Hasil Hutan,
8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut. Hak Milik adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, namun dengan tetap mengingat ketentuan bahwa hak atas tanah memiliki fungsi sosial. Jadi, meskipun Hak Milik merupakan hak yang mutlak dan terkuat tetapi hak tersebut tetap dibatasi oleh fungsi sosial, artinya Hak Milik tetap harus bermanfaat bagi kepentingan negara dan masyarakat umum.
Pengertian terkuat dan terpenuh mengandung makna bahwa Hak Milik memiliki kekuatan hukum yang paling besar dibandingkan hak-hak atas tanah yang lainnya. Hak Milik, berbeda dengan hak-hak atas tanah yang lainnya, tidak memiliki masa berlaku, artinya bisa berlangsung sepanjang masa asalkan tanah tersebut tetap berfungsi sosial dan tidak bertentangan dengan kepentingan Negara dan masyarakat. Apabila kelak tanah tersebut dibutuhkan untuk kepentingan Negara atau kepentingan masyarakat, maka Negara melalui keputusan Pemerintah dan wakil rakyat (DPR, DPRD) dapat membeli tanah tersebut dengan harga yang wajar atau mengambilalih tanah tersebut dengan memberikan ganti rugi yang layak.
Pihak yang berhak memiliki tanah Hak Milik sesuai Pasal 21 UUPA
adalah:
1. Perorangan yang berstatus Warga Negara Indonesia (WNI). 2. Badan-badan hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan memenuhi syarat-syarat untuk dapat mempunyai Hak Milik (yaitu: badan hukum sosial, badan hukum keagamaan, dan bank-bank
milik Pemerintah)
(WNI)
Sesuai azas kebangsaan maka hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat mempunyai tanah Hak Milik. Hak Milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing (WNA) dan pemindahan Hak Milik kepada orang asing dilarang. Orang asing dapat mempunyai tanah dengan status Hak Pakai yang luasnya terbatas. Badan hukum pun pada dasarnya tidak dapat mempunyai Hak Milik tetapi dapat memiliki hak-hak lainnya seperti Hak Guna-Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai. Dengan demikian dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud menghindari ketentuan batas maksimum luas tanah
Hak Milik sesuai aturan Pasal 17 UUPA.
Kepemilikan tanah berstatus Hak Milik untuk kepentingan Rumah Tinggal di Indonesia dibatasi maksimal 5 bidang tanah atau maksimal seluas 5000 m2 sesuai Pasal 2 Ayat (1) huruf e dan Pasal 4 Ayat (3) Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Tinggal. Batasan kepemilikan Tanah Pertanian diatur dalam Pasal 1 Perpu Nomor 56/1960 yang kemudian menjadi UU Nomor 56/1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang menyatakan bahwa seorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri atau kepunyaan orang lain atau dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektare, baik sawah, tanah kering, maupun sawah dan tanah kering. Dengan mengingat keadaan daerah yang sangat khusus Menteri Agraria dapat menambah luas maksimum 20 hektare tersebut dengan paling banyak 5 hektare.
Hak Milik atas tanah dapat diperoleh berdasarkan hukum adat atau peraturan dari pemerintah. Terjadinya Hak Milik menurut hukum adat diatur dengan Peraturan Pemerintah, sedangkan Hak Milik yang diperoleh berdasarkan Peraturan Pemerintah dapat terjadi dengan adanya undang-undang ataupun penetapan Pemerintah. Contoh tanah Hak Milik yang diperoleh berdasarkan penetapan Pemerintah antara lain adalah perubahan status tanah HGB atau Hak Pakai untuk Rumah Tinggal dengan luas maksimal 600 m2 menjadi tanah Hak Milik sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah Tinggal, serta Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Hak Milik dapat diperoleh melalui beberapa cara, yaitu:
1. transaksi jual-beli,
2. penukaran,
3. penghibahan,
4. wasiat,
5. pemberian menurut hukum adat,
6. perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.
Cara perolehan tersebut hanya sah jika dilakukan di antara sesama WNI, sedangkan jika dilakukan dengan WNA maka transaksi dianggap batal demi hukum.182
Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu 25 tahun atau 35 tahun dan dapat diperpanjang selama 25 tahun, guna keperluan perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan. HGU dapat dialihkan dan dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Pengalihan HGU dapat terjadi dengan cara:
1. jual beli,
2. tukar menukar,
3. penyertaan dalam modal,
4. hibah,
5. warisan. 183
HGU diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektare, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektare atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
Pihak yang dapat memliki HGU adalah:
1. Perorangan Warga Negara Indonesia (WNI);
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 184
UUPA sama sekali tidak menyinggung batas maksimal tanah HGU Untuk HGU, bila luasnya kurang dari 25 hektare dan peruntukan tanahnya bukan untuk tanaman keras serta perpanjangan waktunya tidak lebih dari 5 tahun, maka yang berwenang memberikan adalah Gubernur. Selanjutnya, Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1992 menyebutkan pemberian HGU kurang dari 100 hektare ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN setempat, sedangkan untuk HGU yang mencapai lebih dari 100 hektare diberikan oleh Kepala BPN 185 Tanah yang dapat diberikan dengan HGU adalah Tanah Negara. Apabila Tanah Negara tersebut merupakan kawasan hutan, maka pemberian HGU dapat dilakukan setelah tanah tersebut dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan. Pemberian HGU atas tanah yang telah dikuasai dengan hak tertentu sesuai ketentuan yang berlaku, pelaksanaan ketentuan HGU tersebut baru dapat dilaksanakan setelah terselesaikannya pelepasan hak tersebut sesuai dengan tata cara yang 183 Lihat Pasal 16 Ayat 2 PP Nomor 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas
Tanah.
diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal di atas tanah yang akan diberikan HGU itu terdapat tanaman dan/atau bangunan milik pihak lain yang keberadaannya berdasarkan alas hak yang sah, maka pemilik bangunan dan tanaman tersebut diberi ganti kerugian yang dibebankan pada pemegang HGU baru.
Luas minimum tanah yang dapat diberikan HGU adalah 5 hektare. Luas maksimum tanah yang dapat diberikan HGU kepada perorangan adalah 25 hektare. Luas maksimum tanah yang dapat diberikan HGU kepada badan hukum ditetapkan Menteri Agraria dengan memper- hatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha yang bersangkutan, dengan mengingat luas yang diperlukan untuk pelaksanaan suatu satuan usaha yang paling berdaya guna di bidang
bersangkutan.
HGU tidak bisa diberikan pada WNA, namun HGU bisa diberikan untuk badan-badan hukum yang bermodal asing sepanjang mematuhi pembatasan yang disebutkan dalam Pasal 55 UUPA yaitu berlaku untuk sementara selama sisa waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun dan sepanjang hal itu diperlukan oleh undang- undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana. Jangka waktu kepemilikan HGU sesuai Pasal 29 UUPA adalah 25 tahun, sedangkan untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dapat diberikan HGU untuk waktu paling lama 35 tahun. Pengajuan perpanjangan harus diajukan minimal 2 tahun ke Kantor Pertanahan sebelum berakhirnya jangka waktu HGU.
Perpanjangan jangka waktu HGU bisa diberikan jika memenuhi syarat- syarat sebagai berikut:
1. tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak tersebut,
2. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak,
3. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.187
Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Sama halnya dengan Hak Milik dan HGU, HGB juga dapat dialihkan dan dijadikan jaminan utang dengan
dibebani Hak Tanggungan.
Luas maksimum tanah HGB juga tidak diatur dalam UUPA. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972, Pasal 4, menyatakan keputusan pemberian HGB untuk tanah yang luasnya tidak lebih dari 2.000 m2 dan jangka waktunya tidak melebihi 20 tahun diberikan oleh Gubernur. Sedangkan menurut Peraturan Menteri Agraria Nomor 2
tahun 1993, surat keputusan pemberian
HGB untuk tanah yang luasnya lebih dari 5 hektare diterbitkan oleh Kanwil BPN dan jika luasnya kurang dari 5 hektare diterbitkan oleh Kepala Kantor Pertanahan.188
Subjek HGB adalah:
1. Perorangan Warga Negara Indonesia (WNI),
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Badan Hukum Indonesia).
Sama halnya dengan Hak Milik dan HGU, apabila orang dan badan hukum yang mempunyai HGB namun tidak lagi berstatus sebagai WNI atau Badan Hukum Indonesia, maka dalam jangka waktu 1 tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh HGB jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Apabila HGB yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak tersebut otomatis hapus karena hukum.
Objek HGB meliputi:
1. Tanah Negara,
HGB atas tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
188 Andi Emelda Suardi, “Urgensi Penetapan Batas Maksimum Tanah di Indonesia”, www.pertanahannasional.blogspot.com, diakses tanggal 8 November 2011.
282 PROPERTY TOP SECRET
2. Tanah Hak Pengelolaan, HGB atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan.
3. Tanah Hak Milik.
HGB atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT).
Permohonan HGB diajukan ke Kantor Pertanahan dan mulai berlaku sejak dicatatkan dalam Kantor Pertanahan. Sebagai tanda bukti hak, Kantor Pertanahan akan memberikan sertifikat hak atas tanah kepada
pemegang HGB.
Jangka waktu HGB di atas Tanah Negara atau HGB di atas tanah Hak Pengelolaan ditetapkan paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun. Sesudah jangka waktu HGB dan perpanjangannya telah berakhir, maka kepada bekas pemegang HGB dapat diberikan pembaharuan HGB di atas tanah yang sama.
Sedangkan jangka waktu HGB di atas tanah Hak Milik ditetapkan paling lama 30 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun demikian, HGB tersebut dapat diperbaharui atas dasar kesepakatan antara pemegang HGB dengan pemilik tanah yang dituangkan dalam akta perjanjian di hadapan Notaris/PPAT dan pemberian HGB yang baru tersebut didaftarkan ke Kantor Pertanahan setempat.190
Permohonan perpanjangan atau pembaharuan diajukan ke Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 2 tahun sebelum berakhirnya HGB. Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan HGB dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan pada saat pertama kali mengajukan permohonan HGB.
Syarat-syarat pengajuan atau pembaharuan HGB adalah:
1. Tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat dan tujuan pemberian hak tersebut,
2. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak,
3. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UUPA,
4. Tanah tersebut masih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
bersangkutan.
baca juga
- TIPS MEMILIH DEVELOPER & KONTRAKTOR
- TIPS MENGURUS PEMECAHAN, PEMISAHAN DAN PENGGABUNGAN TANAH
- TIPS MENGURUS PERUBAHAN STATUS TANAH
- TIPS MENGURUS SERTIFIKAT TANAH GIRIK
- TIPS JUAL-BELI RUMAH BEKAS PAKAI
HGB di atas tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang atau diperbaharui berdasarkan permohonan pemegang HGB setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan, 191 Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut has orang dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UUPA ini. 192
Subjek Hak Pakai adalah:
1. Perorangan Warga Negara Indonesia (WNI),
2. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia (Badan Hukum Indonesia),
3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerin tah Daerah,
4. Badan-badan keagamaan dan sosial,
5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia,
6. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia, 7. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.193
Objek Hak Pakai adalah:
1. Tanah Negara,
Hak Pakai atas Tanah Negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk.
2. Tanah Hak Pengelolaan,
Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan.
3. Tanah Hak Milik.
Hak Pakai atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian hak pakai oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya diberikan untuk jangka waktu maksimal 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi. Namun demikian, atas kesepakatan antarpemegang Hak Pakai dengan pemegang Hak Milik, maka Hak Pakai atas tanah Hak Milik dapat diperbaharui dengan pemberian Hak Pakai baru berdasarkan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah dan hak tersebut wajib didaftarkan.194
Hak Pakai atas Tanah Negara atau Hak Pengelolaan diberikan untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun, atau diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Sesudah jangka waktu Hak Pakai/ perpanjangannya habis, kepada pemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Pakai atas tanah yang sama. Hak Pakai yang diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama dipergunakan untuk keperluan tertentu, diberikan kepada: 1. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Pemerin-
tah Daerah,
2. Perwakilan negara asing dan perwakilan badan Internasional,
3. Badan keagamaan dan badan sosial.
Perpanjangan dan pembaharuan Hak Pakai di atas tanah Hak Pengelolaan diberikan berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan Sedangkan Hak Pakai di atas Tanah Negara dapat diperpanjang a diperbaharui atas permohonan pemegang hak jika memenuhi s
sebagai berikut:
atau
syarat
1. tanahnya masih dipergunakan dengan baik sesuai dengan keadaan,
sifat dan tujuan pemberian hak tersebut,
2. syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh
pemegang hak,
3. pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai subyek pemegang
hak pakai.
Permohonan perpanjangan dan pembaharuan Hak Pakai diajukan ke Kantor Pertanahan dan mulai berlaku sejak Hak Pakai dicatatkan dalam Kantor Pertanahan. Sebagai tanda bukti hak, Kantor Pertanahan akan memberikan sertifikat hak atas tanah kepada pemegang Hak Pakai Hak Pakai yang diberikan atas Tanah Negara untuk jangka waktu tertentu dan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain. Sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik hanya dapat dialihkan apabila hal tersebut dimungkinkan dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik.
Peralihan Hak Pakai dapat terjadi karena:
1. jual beli,
2. tukar menukar,
3. penyertaan dalam modal,
4. hibah,
5. pewarisan.
Peralihan Hak Pakai wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pera- lihan Hak Pakai karena jual beli (kecuali jual beli melalui lelang, tu- kar menukar, penyertaan dalam modal, dan hibah) harus dilakukan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Jual beli yang dilakukan melalui pelelangan harus dibuktikan dengan Berita Acara Lelang. Peralihan Hak Pakai karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris yang dibuat oleh in- stansi yang berwenang. Peralihan Hak Pakai atas Tanah Negara harus dilakukan dengan izin dari pejabat yang berwenang, sedangkan Peng- alihan Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan. Pengalihan Hak Pakai atas tanah Hak Milik harus dilakukan dengan persetujuan tertulis dari pemegang Hak Milik yang bersangkutan.196
Pemegang Hak Pakai memiliki kewajiban-kewajiban sebagai berikut: 1. membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, perjanjian peng- gunaan tanah Hak Pengelolaan atau dalam perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik,
2. menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberiannya, atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan atau perjanjian pemberian Hak Pakai atas tanah Hak Milik,
3. memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada di atasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup,
4. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai
kepada Negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Pakai tersebut hapus,
5. menyerahkan sertifikat Hak Pakai yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan,
6. Jika tanah Hak Pakai karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas 196 Lihat Pasal 54 PP Nomor 40/1996
umum atau jalan air, maka pemegang Hak Pakai wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan
atau bidang tanah yang terkurung itu.
Pengurusan Dokumen Properti yang berkaitan dengan Tanah pada umumnya melibatkan Notaris selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau Kantor Agraria/Kantor Pertanahan. Masyarakat yang ingin mengurus perizinan yang berkaitan dengan tanah dapat menghubungi kantor Notaris/PPAT terdekat atau menghubungi kantor BPN. Mengurus dokumen properti melalui Notaris memang berbiaya lebih mahal namun lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan mengurus sendiri ke Kantor BPN. Masyarakat yang membeli rumah yang sudah jadi dan berada di lo- kasi perumahan yang dibangun oleh perusahaan pengembang (de veloper) tentu saja tidak perlu repot mengurus sertifikat tanah sebab hal itu sudah menjadi tanggung jawab pengembang. Pada umumnya unit rumah yang dibangun oleh pengembang memiliki tanah yang ber status Hak Guna Bangunan (HGB) karena pengembang tidak diizinkan untuk memiliki tanah berstatus Hak Milik. Namun demikian, konsumen pembeli rumah dapat mengurus perubahan status tanahnya dari HGR menjadi Hak Milik dengan menempuh sejumlah persyaratan dan prose- dur tertentu. Pengurusan alih status tanah tersebut dapat dilakukan melalui Notaris/PPAT atau langsung ke Kantor BPN.
Di samping hak-hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas, juga dikenal adanya istilah “Tanah Negara” dan “Hak Pengelolaan”. Tanah Negara adalah tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Tanah Negara dapat diubah menjadi tanah berstatus Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Pakai, dengan cara mengajukan permohonan kepada Negara melalui Menteri Agraria/Menteri Pertanahan/Kepala BPN. Di samping itu, Tanah Negara juga dapat dijadikan objek Hak Pengelolaan oleh badan-badan hukum
197 Pasal 50 PP Nomor 40/1996.
tertentu. Konversi Tanah Negara diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Hak Pengelolan atas Tanah Negara dapat diberikan kepada: 1. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah, 2. Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
3. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), 4. PT. Persero (BUMN Persero),
5. Badan Otoritas,
6. Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah. Badan-badan hukum tersebut dapat diberikan Hak Pengelolaan se- panjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan dengan pengelolaan tanah., 198
Pemberian hak atas Tanah Negara dapat meliputi pemberian Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. Pemberian hak atas Tanah Negara dapat dilaksanakan dengan keputusan pemberian hak secara indi- vidual atau kolektif atau secara umum.
Pemberian dan pembatalan Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan atas Tanah Negara dilakukan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN. Dalam pemberian dan pembatalan hak tersebut, Menteri Agraria/ Kepala BPN dapat melimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah BPN, Kepala Kantor Pertanahan dan Pejabat yang ditunjuk. Sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohon, dibuktikah dengan data yuridis dan data fisik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal tanah yang dimohon merupakan tanah Hak Pengelolaan, maka pemohon harus terlebih dahulu memperoleh penunjukan berupa per- janjian penggunaan tanah dari Pemegang Hak Pengelolaan.
198 Lihat Pasal 67 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Dalam hal tanah yang dimohon merupakan tanah kawasan hutan, maka
tanah tersebut harus lebih dahulu dilepaskan
dari
statusnya
sebagai
BPN,
kawasan hutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan tanah-tanah tertentu yang diperlukan untuk konservasi (pelestarian alam) yang ditetapkan oleh Menteri Agraria/Kepala B tidak dapat dimohonkan dengan sesuatu hak atas tanah, 199 Agar tanah yang dimiliki dan/atau dikuasai mempunyai kekuatan hukum, maka tanah tersebut harus didaftarkan kepada instansi berwenang yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN) melalui Kantor Pertanahan yang ada di masing-masing Kabupaten/Kota. Hasil akhir dari proses pendaftaran tanah adalah diterbitkannya sertifikat hak atas tanah yang dapat dijadikan sebagai bukti otentik kepemilikan tanah. Tata cara pendaftaran tanah diatur dalam PP Nomor 24/1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
B. DOKUMEN PROPERTI YANG TERKAIT DENGAN BANGUNAN GEDUNG
Dokumen Properti yang berkaitan dengan Bangunan Gedung dapat berupa:
1. Sertifikat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung (SBKBG),
2. Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHM-Sarusun),
3. Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung Satuan Rumah Susun (SKBG-Sarusun),
4. Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB),
5. Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung (SLF),
6. Izin Penggunaan Bangunan (IPB),
7. Kelayakan Menggunakan Bangunan (KMB),
8. Dokumen perjanjian sewa bangunan gedung,
9. Dokumen pengurusan amdal, dan lain-lain.
Pengurusan Dokumen Properti yang berkaitan dengan Bangunan Gedung pada umumnya melibatkan Menteri Pekerjaan Umum
(Menteri PU), Gubernur, Bupati/Walikota, dan Dinas Pekerjaan Umum atau Dinas Bangunan. Masyarakat yang membeli rumah atau bangunan yang dibangun oleh perusahaan pengembang (developer) tidak perlu repot mengurus perizinan yang terkait dengan bangunan gedung, sebab semua perizinan tersebut telah diurus oleh pihak pengembang. Namun demikian, masyarakat konsumen tetap harus waspada dan berhati-hati meneliti kelengkapan dokumen perizinan bangunan gedung agar jangan sampai dirugikan. Sebagai contoh, setiap bangunan gedung (seperti rumah, ruko, rukan, gudang, dan lain-lain) wajib memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan jika tidak maka pemerintah daerah dapat membongkar paksa bangunan gedung tersebut. Di sisi lain, jika kita membangun rumah sendiri, maka kita dapat mengurus IMB ke kantor dinas bangunan atau menyerahkan urusan tersebut kepada pihak kontraktor bangunan.
Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB) adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah (kecuali untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah Pusat) kepada pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku.
Dasar hukum IMB adalah UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Ge- dung dan PP Nomor 36/2005 tentang Pelaksanaan UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Pasal 8 Ayat 1 UU Nomor 28/2002 me- nyatakan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
1. Status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah,
2. Status kepemilikan bangunan gedung,
3. Izin mendirikan bangunan gedung.
(Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.) IMB juga diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tanggal 9 Agustus 2007 tentang Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan Gedung. Pelaksanaan pengurusan IMB di
yang
(Perda) Kabupaten/Kota, dan khusus untuk Provinsi DKI Jakarta diatur masing-masing daerah selanjutnya diatur berdasarkan Peraturan Daerah berdasarkan Perda Provinsi dan Keputusan Gubernur. Bagi daerah belum memiliki Perda IMB dapat menggunakan dasar hukum Peraturan Menteri PU Nomor 24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis IMB. Nama instansi pemerintah daerah yang ditugaskan menangani Izin Mendirikan bangunan (IMB) bisa bermacam-macam, misalnya:
1. Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT),
2. Unit Pelayanan Terpadu Perizinan (UPTP),
3. Kantor Dinas Perizinan,
4. Kantor Pelayanan Adminsitrasi Perizinan (KPAP),
5. Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan,
6. Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Cipta Karya,
7. Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang, dan lain-lain.
Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung di provinsi DK Jakarta juga diwajib memiliki IMB. Untuk mendapatkan IMB di DK Jakarta, setiap orang harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan/DPP (dulu bernama Dinas Pengawasan Pembangunan atau Dinas Penataan dan Pengawasan Pembangunan) dengan melampirkan persyaratan yang ditentukan. IMB di wilayah provinsi DKI Jakarta diterbitkan paling lambat 30 hari sejak persetujuan dokumen rencana teknis diberikan. Sertifikat Laik Fungsi (SLF) Bangunan Gedung diatur dalam Pasal 37 UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung yang menyatakan bahwa pemanfaatan bangunan gedung dilakukan oleh pemilik atau pengguna bangunan gedung setelah bangunan gedung tersebut dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi. Bangunan gedung dinyatakan memenuhi persyaratan laik fungsi apabila telah memenuhi persyaratan teknis. harus dilakukan agar tetap memenuhi persyaratan laik fungsi. Pemeliharaan, perawatan, dan pemeriksaan secara berkala pada bangunan gedung.
SLF juga diatur dalam PP Nomor 36/2005 tentang Peraturan Pelak- sanaan UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Sesuai Pasal 1 angka 23 PP Nomor 36/2005 “Laik Fungsi” diartikan suatu kondisi bangunan gedung yang memenuhi persyaratan administratif dan per- syaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung yang ditetap-
kan.
Petunjuk pelaksanaan SLF diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikasi Laik Fungsi Bangunan Gedung. Permen PU ini dijabarkan lagi dalam bentuk Perda di beberapa daerah, sementara pemerintah daerah yang belum memiliki Perda tentang SLF dapat menggunakan rujukan Permen PU tersebut sebagai petunjuk pelaksanaan SLF.
Pemerintah Daerah menerbitkan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) terhadap bangunan gedung yang telah selesai dibangun dan telah memenuhi persyaratan kelaikan fungsi berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung sebagai syarat untuk dapat dimanfaatkan. Pemberian SLF terhadap bangunan gedung dilakukan dengan mengikuti prinsip-prinsip pelayanan prima dan tanpa dipungut biaya.
Secara umum SLF berlaku selama 20 tahun untuk rumah tinggal tunggal dan rumah tinggal deret, serta berlaku 5 tahun untuk bangunan gedung lainnya. SLF diberikan atas dasar permintaan pemilik untuk seluruh atau sebagian bangunan gedung sesuai dengan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung.200
Perizinan SLF seperti juga IMB dapat diurus melalui kantor dinas pemerintah daerah yang mengurusi bangunan. Sedangkan khusus di DKI Jakarta dapat diurus melalui Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (DPPB) Provinsi DKI Jakarta. SLF di DKI Jakarta diterbitkan paling lambat 30 hari sejak persetujuan dokumen rencana teknis diberikan. Masa berlaku SLF di DKI Jakarta ditetapkan sebagai berikut:
1. Masa berlaku SLF untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal sederhana dan rumah deret sederhana tidak dibatasi.
2. Masa berlaku SLF bangunan gedung untuk bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal, dan rumah deret sampai dengan 2 lantai ditetapkan dalam jangka waktu 20 tahun.
3. Masa berlaku SLF untuk bangunan gedung hunian rumah tingg tidak sederhana, bangunan gedung lain pada umumnya, dan bangunan gedung tertentu ditetapkan dalam jangka waktu s
tahun,201
SLF bangunan gedung dapat diperpanjang. Perpanjangan S diberlakukan untuk bangunan gedung yang telah dimanfaatkan
dengan ketentuan lama perpanjangan, sebagai berikut:
1. 20 tahun untuk rumah tinggal tunggal dan rumah deret sampai2
lantai
2. 5 tahun untuk bangunan gedung lainnya.
Perpanjangan SLF pada masa pemanfaatan bangunan diterbitkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung terhadap pemenuhan persyaratan teknis dan fungsi
bangunan gedung sesuai dengan IMB.
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung (SBKBG) adalah surat keterangan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) kepada pemilik bangunan gedung sebagai bukti kepemilikan bangun an gedung yang telah selesai dibangun berdasarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan telah memiliki Sertifikat Laik Fungsi (SLF) sesuai persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang berlaku. Status kepemilikan bangunan gedung dibuktikan dengan SBKBG yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah Pusat, berdasarkan hasil kegiatan pendataan bangunan gedung. Kepemilikan bangunan gedung tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain. Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan pemilik tanah, maka pengalihan hak tersebut harus mendapat persetujuan dari pemilik tanah.
Ketentuan lebih lanjut mengenai SBKBG akan diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres). Namun hingga saat ini Perpres tentang SBKBG belum juga diterbitkan oleh Pemerintah sehingga penerbitan SBKBG di berbagai daerah hanya didasarkan pada Peraturan Daerah seperti Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung.
Dasar hukum SBKBG telah ditegaskan dalam Pasal 8 Ayat 1 UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung dan Pasal 8 Ayat 2 PP Nomor 36/2005 yang menyatakan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
1. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang
hak atas tanah,
2. status kepemilikan bangunan gedung, 3. izin mendirikan bangunan gedung.
(Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku). Selama ini masyarakat lebih banyak mengenal persyaratan administratif bangunan gedung berupa sertifikat hak atas tanah dan IMB. Masyarakat belum banyak yang tahu bahwa eksistensi sebuah bangunan gedung juga perlu didukung adanya SBKBG yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota setempat melalui Dinas yang mengurusi Bangunan Gedung.
SBKBG baru dapat diterbitkan oleh Pemerintah Daerah apabila bangunan gedung telah selesai dibangun sesuai IMB dan telah mempunyai SLF. SBKBG diterbitkan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) melalui Dinas yang mengurusi Bangunan. Hal ini berbeda dengan Sertifikat Tanah yang harus diurus melalui Kantor Pertanahan.
Pengaturan tentang SBKBG khusus bagi bangunan berbentuk Rumah Susun (termasuk Rusunawa, Rusunami, Apartemen, Kondominium, Kondotel dan bangunan sejenis) saat ini telah diatur secara khusus dalam UU Rumah Susun yang terbaru (UU Nomor 20/2011) yang berfungsi menggantikan UU Rumah Susun yang lama (UU Nomor 16/1985).
Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung (SBKBG) pada bangunan Rumah Susun dapat berbentuk dua macam:
a) Sertifikat Hak Milik-Satuan Rumah Susun atau disingkat SHM- Sarusun,
b) Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung-Satuan Rumah Susun atau disingkat SKBG-Sarusun.
Apabila Rumah Susun dibangun di atas Tanah-Bersama, maka penerbitan SHM-Sarusun menjadi kewenangan Kantor Pertanahan. Sedangkan untuk Rumah Susun yang dibangun tidak di atas Tanah- Bersama (misanya di atas tanah berstatus Hak Sewa), maka penerbitan SHM-Sarusun menjadi kewenangan Pemerintah Daerah (Kabupaten/ Kota) melalui Dinas yang mengurusi Bangunan atau Rumah Susun. Setiap orang yang memiliki Bangunan Gedung di DKI Jakarta wajib memiliki Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung (SBKBG). Untuk mendapatkan SBKBG setiap orang harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan Provinsi DKI Jakarta dengan melampirkan sejumlah persyaratan. SBKBG diterbitkan dengan jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak permohonan dinyatakan memenuhi persyaratan. Permohonan harus melampirkan persyaratan administratif sekurang-
Yang dimaksud “Sertifikat Hak Milik-Satuan Rumah Susun” SHM-Sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas satuan susun (sarusun) di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan. Sedangkan yang dimaksud “Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung-Satuan Rumah Susun” atau SKBG. Sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa. SHM-Sarusun diterbitkan oleh Kantor Pertanahan di Kabupaten Kota setempat. SHM-Sarusun juga dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan sesuai UU Hak Tanggungan (UU Nomor 4/1996).202 Sedangkan SKBG-Sarusun diterbitkan oleh instansi teknis kabupaten/kota di bidang bangunan gedung (seperti Dinas Pengawasan Bangunan). SKBG-Sarusun juga dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Fidusia sesuai UU Jaminan Fidusia (UU Nomor 42/1999). SKBG-Sarusun yang dijadikan jaminan utang secara fidusia harus didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia 203 Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung (SBKBG) di Provinsi DKI Jakarta diatur dalam Pasal 245 hingga Pasal 252 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta Nomor 7 Tahun 2010 tentang Bangunan Gedung. Perda DKI Jakarta ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung serta PP Nomor 36/2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung.
Namun demikian, khusus untuk bangunan gedung berupa Rumah Susun dan sejenisnya (termasuk apartemen, kondominium, kondotel, mall, dan bangunan bertingkat lain yang dimiliki secara bersama- sama) aturan tentang SBKBG juga harus merujuk pada ketentuan UU Rumah Susun. Dalam UU Rumah Susun yang baru disahkan DPR bulan Oktober 2011 antara lain diatur tentang Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHM-Sarusun) sebagai salah satu bentuk SBKBG.
kurangnya terdiri dari:
1. kesepakatan dan/atau persetujuan dari kedua belah pihak dalam bentuk perjanjian tertulis,
2. kepemilikan dokumen IMB; kesesuaian data aktual (terakhir) dengan data dalam dokumen status hak atas tanah,
3. kesesuaian data aktual (terakhir) dengan data dalam IMB, dan/atau dokumen status kepemilikan bangunan gedung yang semula telah ada/dimiliki.
Dasar hukum pemberlakuan Izin Penggunaan Bangunan (IPB) di Provinsi DKI Jakarta adalah Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 85 Tahun 2006 tentang Pelayanan Penerbitan Perizinan Bangunan. Peraturan ini merupakan revisi atas Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 76 Tahun 2000 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan Bangunan (IPB) dan Kelayakan Menggunakan Bangunan (KMB) di Propinsi DKI Jakarta. Bidang perizinan bangunan di Provinsi DKI Jakarta, meliputi: 1. Izin Mendirikan Bangunan/IMB,
2. Izin Penggunaan Bangunan/IPB,
3. Kelayakan Menggunakan Bangunan/KMB,
4. Izin Khusus.
Izin Penggunaan Bangunan atau IPB adalah izin yang diberikan
untuk
menggunakan bangunan. Masyarakat di provinsi DKI Jakarta yang ingin menggunakan bangunan, terlebih dahulu harus memperoleh IPB yang diterbitkan oleh Seksi Dinas Kecamatan atau Suku Dinas atau Dinas Provinsi yaitu Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (DPPB) Sebelum IPB diterbitkan, Dinas Provinsi (DPPB) dapat menerbitkan IPB Pendahuluan. “IPB Pendahuluan” adalah izin penggunaan bangunan sementara yang diberikan pada sebagian bangunan atau seluruh
bangunan dengan jangka waktu selama 6 bulan.
“Kelayakan Menggunakan Bangunan” atau KMB adalah keterangan tentang kelayakan menggunakan bangunan setelah kondisi dan penggunaan bangunannya dinilai layak dari segi teknis. Untuk bangunan yang telah memiliki IPB secara periodik harus memiliki KMB Dengan kata lain, bangunan di DKI Jakarta yang telah memiliki IPB dan kemudian masa berlaku IPB-nya telah berakhir dapat mengajukan izin baru bernama Kelayakan Menggunakan Bangunan (KMB).
Dasar hukum izin Kelayakan Menggunakan Bangunan (KMB) di Provinsi DKI Jakarta adalah Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 85 Tahun 2006 tentang Pelayanan Penerbitan Perizinan Bangunan, Peraturan ini merupakan revisi atas Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 76 Tahun 2000 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Penggunaan Bangunan (IPB) dan Kelayakan Menggunakan Bangunan (KMB) di Propinsi DKI Jakarta. Izin KMB yang merupakan kelanjutan dari IPB sejauh ini belum ditemukan datanya oleh Penulis diberlakukan di daerah selain provinsi DKI Jakarta. Di Kota Denpasar, Penulis hanya mendapatkan data pemberlakuan IPB tetapi tidak ada izin KMB. Di sejumlah daerah lainnya bahkan tidak ditemukan adanya izin semacam IPB dan KMB. Regulasi tentang Bangunan Gedung (UU Nomor 28/2002 dan PP Nomor 36/2005) hanya mewajibkan pemberlakuan izin Sertifikat Laik Fungsi (SLF) yang merupakan kelanjutan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pengurusan SLF berdasarkan kedua aturan tersebut bahkan ditetapkan tanpa dipungut biaya apa pun.
C. DOKUMEN PROPERTI YANG TERKAIT DENGAN AIR
TANAH
Dokumen Properti yang berkaitan dengan Air Tanah (Air Bawah Tanah) antara lain adalah Surat Izin Penggunaan Air Tanah (SIPA) yang terdiri dari dua macam yaitu Surat Izin Pemakaian Air Tanah (untuk kepentingan non-bisnis) serta Surat Izin Pengusahaan Air Tanah (untuk kepentingan bisnis). Regulasi Air Tanah menjadi kewenangan Menteri ESDM cq Dinas Pertambangan/Dinas ESDM, sedangkan regulasi Air Permukaan menjadi kewenangan Menteri PU cq Dinas PU/Pengairan. “Surat Izin Pemakaian Air Tanah” (SIPA nonbisnis) khusus diperuntuk- kan bagi penggunaan air tanah untuk kepentingan non-bisnis seperti rumah tangga atau lembaga sosial keagamaan. Sedangkan “Surat Izin Pengusahaan Air Tanah” (SIPA bisnis) khusus ditujukan bagi penggu- naan air tanah untuk kepentingan bisnis seperti perhotelan, rumah
makan, air isi ulang, dan lain-lain.
Untuk memperoleh SIPA, pemohon wajib mengajukan permohonan tertulis kepada Bupati/ Walikota dengan tembusan kepada Menteri PU dan Gubernur. Setiap satu SIPA diberikan hanya untuk satu titik sumur produksi. Permohonan SIPA diajukan dengan disertai lampiran sebagai berikut:
1. peruntukan dan kebutuhan air tanah;
2. rencana pelaksanaan pengeboran atau penggalian air tanah; dan 3. upaya pengelolaan lingkungan (UKL) atau upaya pemantauan lingkungan (UPL) atau analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk memperoleh SIPA, pemohon dikenakan retribusi perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.204
Dasar hukum Surat Izin Penggunaan Air Tanah (SIPA) adalah:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, 2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
3. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah, 4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 49/PRT/1990 tentang Tata Cara dan Persyaratan Izin Penggunaan Air dan/atau Sumber
Air,
5. Keputusan Menteri ESDM Nomor 1451K/10/MEM/2000 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang
Pengelolaan Air Bawah Tanah.
Terhadap air tanah dikenai Pajak Air Tanah. Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Pajak Air Tanah merupakan salah satu objek pajak yang boleh dikutip oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di sisi lain, Pemerintah Provinsi diberi wewenang untuk mengutip Pajak Air Permukaan. “Pengusahaan air tanah” merupakan kegiatan penggunaan air tanah bagi kepentingan usaha (bisnis) yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan:
1. bahan baku produksi,
2. pemanfaatan potensi,
3. media usaha,
4. bahan pembantu atau proses produksi.205
Pengusahaan air tanah (untuk kepentingan bisnis) dapat dilakukan sepanjang penyediaan air tanah untuk kebutuhan pokok sehari- hari dan pertanian rakyat masyarakat setempat terpenuhi. Bentuk pengusahaan air tanah bisa berupa:
1. Penggunaan air tanah pada suatu lokasi tertentu,
2. Penyadapan akuifer pada kedalaman tertentu,
3. Pemanfaatan daya air tanah pada suatu lokasi tertentu.
Pengusahaan air tanah (untuk kepentingan bisnis) wajib memperhatikan:
1. Rencana pengelolaan air tanah.
2. Kelayakan teknis dan ekonomi.
3. Fungsi sosial air tanah, 4. Kelestarian kondisi dan lingkungan air tanah,
5. Ketentuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pengusahaan air tanah baru bisa dilakukan setelah memiliki hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah. Hak guna usaha air dari peman- faatan air tanah diperoleh melalui izin pengusahaan air tanah yang diberikan oleh bupati/walikota. Izin pengusahaan air tanah diberikan kepada perseorangan atau badan usaha.206
D. DOKUMEN PROPERTI YANG TERKAIT DENGAN TATA
RUANG
Dokumen Properti yang berkaitan dengan pemanfaatan Tata Ruang antara lain berupa Surat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT) yang merupakan domain kewenangan Pemerintah Daerah. Dasar hukum pemberlakuan SIPPT adalah UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang serta PP Nomor 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Pemberlakuan SIPPT di masing-masing daerah selanjutnya ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) setempat. SIPPT diterbitkan oleh Pemerintah Daerah melalui Dinas Tata Ruang atau Dinas Tata Kota. Di provinsi DKI Jakarta izin semacam ini disebut Surat Izin Penunjukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT). Sedangkan sesuai Pasal 163 PP Nomor 15/2010 izin semacam ini dinamakan juga Surat Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (SIPPT).
Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:
1. mengetahui rencana tata ruang,
2. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang,
3. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang,
4. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
5. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pem- bangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pe
jabat berwenang,
6. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian, 207 Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang berkewajiban:
1. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan,
2. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari
pejabat yang berwenang,
3. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin p
manfaatan ruang,
pe-
4. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan per- aturan-perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum 208 Berdasarkan aturan Pasal 61 UU Nomor 26/2007 dapat disimpulkan bahwa setiap orang tidak dapat seenaknya sendiri memanfaatkan ruang tanpa mengindahkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan Pemerintah, atau memanfaatkan ruang tanpa izin dari Pemerintah melalui pejabat yang berwenang. Hal inilah yang dijadikan dasar pemikiran perlunya regulasi Surat Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Ruang atau dinamakan juga Surat Izin Peruntukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT). Izin semacam ini bukan merupakan kewenangan Kantor Pertanahan melainkan kewenangan Pemerintah Daerah melalui Dinas Tata Ruang/Tata Kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan per- aturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pe- ngenaan sanksi. Peraturan zonasi merupakan pedoman pengendalian pemanfaatan ruang. Peraturan ini disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang. Peraturan zonasi ditetapkan dengan:
207 Lihat Pasal 60 UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang. 208 Lihat Pasal 61 UU Nomor 26/2007.
1. peraturan pemerintah untuk arahan peraturan zonasi sistem
nasional,
2. peraturan daerah provinsi untuk arahan peraturan zonasi sistem
provinsi,
3. peraturan
daerah kabupaten/kota untuk peraturan zonasi.209
Ketentuan perizinan zonasi diatur oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menurut kewenangan masing-masing, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai peraturan perundang-undangan.
Izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar, dinyatakan batal demi hukum. Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan RTRW dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing- masing. Kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin tersebut dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi
izin.
Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan RTRW dapat dibatalkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan memberikan ganti kerugian yang layak. Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan RTRW. Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah yaitu PP Nomor 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. SIPPT juga diatur dalam PP Nomor 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Dalam PP Nomor 15/2010 dikenal adanya istilah “Izin Pemanfaatan Ruang” yaitu izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib memiliki izin pemanfataan ruang dan wajib melaksanakan setiap ketentuan 209 Lihat Pasal 35 dan 36 UU Nomor 26/2007
perizinan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang. Izin pemanfaatan ruang diberikan kepada calon pengguna ruang yang akan melakukan kegiatan pemanfaatan ruang pada suatu kawasan/zona tertentu
berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Izin pemanfaatan ruang diberikan untuk:
1. menjamin pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang, peraturan zonasi, dan standar pelayanan minimal bidang penataan
ruang,
2. mencegah dampak negatif pemanfaatan ruang,
3. melindungi kepentingan umum dan masyarakat luas.210 Dalam proses perolehan izin pemanfaatan ruang dapat dikenakan retribusi sebagai biaya administrasi perizinan. Penarikan retribusi izin pemanfaatan ruang tidak dimaksudkan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD), sehingga pemerintah daerah tidak perlu menetapkan target PAD dari retribusi izin pemanfaatan ruang.
Izin Pemanfaatan Ruang berupa:
1. Izin Prinsip,
2. Izin Lokasi,
3. Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah,
4. Izin Mendirikan Bangunan,
5. Izin lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.21 “Izin Prinsip” adalah surat izin yang diberikan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk menyatakan suatu kegiatan secara prinsip diperkenankan untuk diselenggarakan atau beroperasi. Izin Prinsip merupakan pertimbangan pemanfaatan lahan berdasarkan aspek teknis, politis, dan sosial budaya sebagai dasar dalam pemberian Izin Lokasi. Izin Prinsip tersebut dapat berupa Surat Penunjukan Penggunaan Lahan (SPPL).
“Izin Lokasi” adalah izin yang diberikan kepada pemohon untuk mem peroleh ruang yang diperlukan dalam rangka melakukan aktivitasnya.
Izin Lokasi merupakan dasar untuk melakukan pembebasan lahan dalam rangka pemanfaatan ruang. Izin Lokasi diberikan berdasarkan Izin Prinsip apabila berdasarkan peraturan daerah yang berlaku me- mang diperlukan Izin Prinsip.
Izin Prinsip dan Izin Lokasi diberikan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota. Izin Prinsip belum dapat dijadikan sebagai dasar untuk pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang karena masih harus diikuti dengan adanya Izin Lokasi. Izin Lokasi diperlukan untuk pemanfaatan ruang lebih dari 1 hektare untuk kegiatan bukan pertanian dan lebih dari 25 hektare untuk kegiatan pertanian. Setelah ada Izin Lokasi maka dapat diberikan “Surat Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah” atau disebut juga “Surat Izin Peruntukan dan Penggunaan Tanah” atau SIPPT. SIPPT inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk mengajukan permohonan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB).
SIPPT diberikan berdasarkan Izin Lokasi. IMB merupakan dasar untuk mendirikan bangunan dalam rangka pemanfaatan ruang. IMB diberikan berdasarkan rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi. Peraturan zonasi menjadi dasar pemegang izin untuk mendirikan bangunan sesuai fungsi yang telah ditetapkan dan sesuai rencana teknis bangunan gedung yang telah disetujui Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pemberian Izin Pemanfaatan Ruang disertai dengan persyaratan tek- nis dan persyaratan administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah ketentuan tentang perizinan yang diterbitkan oleh masing-masing sektor dan/atau instansi yang berwenang, misal- nya ketentuan Izin Lokasi untuk kegiatan pembangunan perumahan skala besar harus sesuai UU Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Di provinsi DKI Jakarta dikenal adanya izin pemanfaatan ruang bernama Surat Izin Penunjukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT). SIPPT di DKI Jakarta wajib dimiliki perorangan atau pengembang (developer) yang hendak mengembangkan tanah dengan luas lebih dari 5.000 m2. Permohonan SIPPT di DKI Jakarta diajukan melalui Badan Pertimbangan Urusan Tanah
(BPUT). Permohonan ijin yang disetujui akan mendapatkan SIPPT dikeluarkan oleh Gubernur DKI Jakarta. Penerbitan SIPPT melibatkan lintas instansi karena kajiannya meliputi berbagai aspek. Manfaat memiliki SIPPT di DKI Jakarta adalah untuk kelengkapan persyaratan memperoleh Surat Keterangan Rencana Kota (SKRK), hak atas tanah,
dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
E. DOKUMEN PROPERTI YANG TERKAIT DENGAN
PERPAJAKAN
Di sisi lain, Dokumen Properti yang berkaitan dengan Perpajakan,
antara lain:
1. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan (PBB),
2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB), dan 3. Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh-Final) atas penghasilan yang diperoleh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangun-
an.
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkataan (atau lazim di singkat PBB) adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, ke cuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. PBB saat ini diatur dalam UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 2 Ayat (2) huruf j UU Nomor 28/2009 menyatakan bahwa PBB merupakan salah satu jenis Pajak Daerah yang berhak dipungut oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan undang-undang di bidang bangunan.
Berdasarkan
Pasal 2 Ayat (2) huruf k UU Nomor 28/2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa BPHTB merupakan salah satu jenis Pajak Daerah yang boleh dipungut oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pihak yang diwajibkan membayar BPHTB adalah pihak yang menerima hak atas tanah dan/atau bangunan. Sebagai contoh: apabila terjadi peristiwa jual-beli tanah/bangunan maka pihak pembeli terkena kewajiban membayar BPHTB karena merupakan pihak yang menerima hak atas tanah/bangunan. Sedangkan pihak penjual sebagai pihak yang menyerahkan hak tersebut terkena kewajiban membayar
PPh-Final.
Pajak Penghasilan final atau PPh-Final secara khusus dikenakan ter- hadap orang atau Badan yang bertindak selaku pihak penjual tanah dan/atau bangunan. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa dalam proses jual beli tanah dan/atau bangunan, pihak penjual dikenakan PPh-Final sedangkan pihak pembeli dikenakan BPHTB. Pemungutan PPh-Final merupakan kewenangan Pemerintah Pusat melalui Ditjen Pajak sehingga pembayarannya disalurkan melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Hal ini berbeda dengan pemungutan PBB dan BPHTB yang merupakan pajak daerah sehingga menjadi kewenangan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).
Dasar hukum pemberlakuan PPh-Final terhadap penghasilan yang diperoleh pihak penjual dalam transaksi jual-beli tanah dan/atau bangunan adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas PP Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pembahasan lebih terperinci tentang PBB, BPHTB dan PPh-Final dijelaskan pada bab tentang aspek perpajakan properti.
Secara umum ruang lingkup Dokumen Properti mencakup segala macam perizinan yang berkaitan dengan aspek:” a) Tanah,
b) Bangunan,
c) Air tanah (air bawah tanah),
d) Tata ruang,
e) Perpajakan, dan
f) Perizinan terkait lainnya.
Dokumen Properti yang berkaitan dengan Air Tanah (Air Bawah Tanah) antara lain Surat Izin Penggunaan Air Tanah (SIPA) yang terdiri dari:
a) Surat Izin Pemakaian Air Tanah (untuk kepentingan non-bisnis) b) Surat Izin Pengusahaan Air Tanah (untuk kepentingan bisnis).
Regulasi Air Tanah menjadi kewenangan Menteri ESDM cq Dinas Pertambangan/ Dinas ESDM, sedangkan regulasi Air Permukaan menjadi kewenangan Menteri PU cq Dinas PU/ Pengairan.
Dokumen Properti yang terkait dengan Tanah dapat berupa:
a) Sertifikat hak atas tanah (Hak Milik, HGB, HGU, Hak Pakai, Hak Sewa) b) Dokumen perubahan Tanah Girik menjadi Hak Milik,
c) Akta Pemberian Hak Tanggungan,
d) Akta jual beli tanah dan akta pengalihan hak atas tanah lainnya,
e) Dokumen pengalihan Tanah Negara menjadi tanah berstatus Hak Milik/HGB/HGU/ Hak Pakai/ Hak Pengelolaan,
f) Dokumen perubahan status tanah Hak Milik menjadi HGB/ Hak Pakai,
g) Dokumen perubahan status tanah HGB menjadi Hak Pakai,
h) Dokumen perubahan status tanah HGB menjadi Hak Milik,
i) Dokumen pemecahan, pemisahan dan penggabungan tanah
j) Dokumen perjanjian sewa tanah, dan lain-lain.
Dokumen Properti yang berkaitan dengan Bangunan Gedung berupa:
a) Sertifikat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung (SBKBG),
b) Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHM-Sarusun),
c) Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung
Satuan Rumah Susun (SKBG-Sarusun),
d) Izin Mendirikan Bangunan Gedung (IMB),
e) Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung (SLF),
f) Izin Penggunaan Bangunan (IPB),
g) Kelayakan Menggunakan Bangunan (KMB),
h) Dokumen perjanjian sewa bangunan gedung, i) Dokumen pengurusan AMDAL, dan lain-lain.
Dokumen Properti yang berkaitan dengan pemanfaatan Tata Ruang antara lain berupa Surat Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (SIPPT) yang merupakan domain kewenangan Pemerintah Daerah.
Dasar hukum pemberlakuan SIPPT adalah UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang serta PP Nomor 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Pemberlakuan SIPPT di masing-masing daerah selanjutnya ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) setempat. SIPPT diterbitkan oleh Pemerintah Daerah melalui
Dinas Tata Ruang atau Dinas Tata Kota.
Di provinsi DKI Jakarta izin semacam ini disebut Surat Izin Penunjukan dan Penggunaan Tanah (SIPPT). Sedangkan sesuai Pasal 163 PP Nomor 15/2010 izin ini dinamakan juga Surat Izin Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (SIPPT).
Dokumen Properti yang berkaitan dengan Perpajakan berupa: a) Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan Perkotaan (PBB),
b) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB), dan
c) Pajak Penghasilan yang bersifat final (PPh-Final) atas penghasilan yang diperoleh dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.