www.notarisdanppat.com – Salah satu syarat mutlak keanggotaan seseorang dalam koperasi adalah bahwa ia harus menyetorkan sejumlah sejumlah uang, yang wajib dibayar oleh seseorang atau badan hukum Koperasi pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan keanggotaan pada suatu Koperasi atau yang sekarang disebut dengan istilah setoran pokok.[1]
Dalam Pasal 67 Undang-Undang No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian diatur ketentuan mengenai setoran pokok koperasi sebagai berikut:
- Setoran Pokok dibayarkan oleh Anggota pada saat yang bersangkutan mengajukan permohonan sebagai Anggota dan tidak dapat dikembalikan.
- Setoran Pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah disetor penuh dengan bukti penyetoran yang sah.
- Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara penetapan Setoran Pokok pada suatu Koperasi diatur dalam Anggaran Dasar.
Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 67 ayat 1 dinyatakan bahwa “ Setoran pokok tidak dapat dikembalikan kepada Anggota pada saat yang bersangkutan keluar dari keanggotaan Koperasi. Setoran Pokok mencerminkan ciri sebagai modal tetap Koperasi”.
Berkaitan dengan ketentuan setoran pokok yang tidak dapat dikembalikan tersebut jika dicermati lebih lanjut terdapat unsur paksaan kepada para anggota koperasi agar secara sukarela mengalihkan hak kepemilikan sejumlah uang yang menjadi setoran pokok kepada koperasi untuk menjadi harta milik koperasi dan tidak dapat diambil kembali. Berkaitan dengan hak milik tersebut dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dinyatakan sebagai berikut:
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.”
Berdasar kepada Pasal 28 H ayat (4) tersebut menghalangi suatu perampasan milik seseorang secara semena-mena. Hal ini berarti, perampasan hak milik seseorang hanya dapat dilakukan menurut hukum tertentu.
Namun di samping hak-hak asasi manusia , harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai manusia.
Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya.
Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, meskipun dalam UUD 1945 terdapat jaminan konstusional terhadap hak milik pribadi di dalamnya juga terdapat pembatasan-pembatasan sehingga seseorang tidak menggunakan hak miliknya secara sewenang-wenang.
Pembatasan terhadap hak-hak asasi termasuk di dalamnya hak milik pribadi ini juga telah mendapat legitimasi secara konstitusional sebagaimana disebutkan dalam pasal 28J ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.
Dengan membandingkan ketentuan Pasal 28 H ayat (4) yang pada dasarnya berupaya melindungi terhadap hak milik seseorang dengan 28 J ayat (2) yang memberikan pembatasan terhadap suatu hak milik, maka tidak serta-merta dapat dinyatakan bahwa ketentuan setoran pokok yang tidak dapat dikembalikan tersebut merupakan perampasan hak milik secara paksa dan bertentangan dengan 28 H ayat (4).
Melihat ketentuan hak milik pribadi dalam Pasal 28 H ayat (4) dan 28 J ayat (2) merupakan ketentuan yang masih bersifat umum dan multitafsir, maka yang harus dicermati terlebih dahulu adalah hakikat, tujuan dan maksud dari ketentuan-ketentuan kedua pasal tersebut.
Sehubungan dengan itu, untuk memahami ketentuan hak milik dalam UUD 1945 ini dapat dilakukan dengan cara menggunakan penafsiran sistematis[2] yakni penafsiran dengan mengkaji setiap peraturan perundang-undangan yang relevan dengan mempertimbangkan hierarki peraturan perundang-undangan tersebut.
Sehubungan dengan penafsiran sistematis ini, ketentuan mengenai hak milik selain diatur dalam UUD 1945 juga diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya yaitu KUH Perdata yang sampai saat ini masih berlaku di Indonesia.
KUH Perdata sebagai kitab hukum yang terkodifikasi sampai saat ini masih merupakan hukum positif di Indonesia yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi. Artinya selama tidak ada perubahan, pencabutan, dan tidak dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai norma hukum tertinggi di Indonesia, maka KUH Perdata adalah sesuai dan masih menjadi salah satu tata aturan yang berlaku di Indonesia.[3]
Dalam KUH Perdata pengaturan hak milik ini dapat dijumpai dalam Bab Ketiga Buku II KUH Perdata dengan judul “ Tentang Hak Milik (Eingdom)”. Secara lebih rinci pengaturan hak milik tersebut dimuali dari Pasal 570 sampai dengan 624 KUH Perdata. Dari beberapa pasal tersebut terdapat pasal-pasal yang dihapus yakni berkaitan dengan hak milik berupa tanah. Adapun pasal yang dihapus adalah Pasal 614 dan Pasal 615.
Secara lebih khusus untuk menafsirkan ketentuan 28 H ayat (4) dan ayat 28 J ayat (2) kita dapat merujuk dalam Pasal Pasal 570 KUH Perdata yang menyatakan sebagai berikut:
“Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak menganggu hak-hak orang lain, kesemuannya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti rugi”.
Senada dengan itu, Salim HS menyatakan bahwa[4]:
“Pembatasan dalam Pasal 570 KUH Perdata terhadap hak milik dibatasi pengunaannya pada tiga hal: (1) tidak bertentangan dengan Undang-Undang, (2) ketertiban umum, dan (3) hak-hak orang lain”.
Mengingat bahwa ketentuan setoran pokok yang tidak dapat dikembalikan tersebut merupakan salah satu ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti, jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 570 KUH perdata, maka pembatasan hak milik terhadap harta berupa setoran pokok tersebut merupakan bagian dalam pembatasan oleh undang-undang. Namun, dalam hal ini perlu dicermati lebih lanjut berkaitan dengan maksud dan tujuan dari pembatasan oleh undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 570 KUH Perdata.
Sehubungan dengan itu, Rachmadi Usman berpendapat bahwa undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 570 tersebut merupakan undang-undang dalam arti formal[5], sehingga pengertian undang-undang dalam Pasal 570 KUH Perdata memiliki cakupan yang luas, termasuk di dalamnya Yurisprudensi. Sedangkan yang dimaksud peraturan umum meliputi peraturan dari penguasa-penguasa yang lebih rendah, misalnya peraturan-peraturan provinsi, peraturan kota, peratauran kabupaten, dan lain-lain.
Pembatasan hak eingdom oleh undang-undang, peraturan umum dan oleh masyarakat dapat terjadi antara lain karena : 1) dibatasi oleh Hukum Administrasi Negara melalui campur tangan penguasa; dan 2) Hukum Tetangga, contoh kewajiban bagi pemilik pekarangan yang letaknya ditengah untuk memberikan atau membuka jalan keluar menuju ke arah jalan besar/umum bagi kepentinga bersama.[6]
Masih menurut Rachmadi Usman bahwa hak milik yang bersifat mutlak ini , dalam artian tidak dapat diganggu gugat ini tidak hanya tertuju pada orang lain yang bukan eigenaar, tetapi juga tertuju kepada pembentuk undang-undang ataupun penguasa, di mana mereka itu tidak boleh sewenang-wenang membatasi hak milik, melainkan harus ada balasannya, harus memenuhi syarat-syarat tertentu.[7] Oleh karena itu, untuk melihat keabsahan suatu undang-undang dalam membatasi hak milik harus dipenuhi syarat-syarat tertentu, sehingga undang-undang tersebut mampu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Oleh karena itu, untuk mengetahui sah atau tidaknya pembatasan hak milik anggota koperasi melalu ketentuan setoran pokok dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2012 yang terlebih dahulu harus dicermati adalah apakah pembatasan tersebut merupakan pembatasan secara sewenang-wenang atau pembatasan yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Dengan menggunakan metode penafsiran doktrinal[8] yakni metode penafsiran ketentuan perundang-undangan dengan merujuk pada doktrin-doktrin para ahli hukum. Berdasar pada pendapat Rachmadi Usman di atas, maka dapat disimpulkan bahwa suatu ketentuan peraturan perundang-undangan dapat membatasi hak milik seseorang apabila didasarkan pada suatu pertimbangan yang memenuhi syarat-syarat tertentu dan mampu memberikan kepastian, keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat pada umumnya.
Sehubungan dengan ketentuan setoran pokok yang tidak dapat dikembalikan, jika melihat dari pertimbangan hukum dihapusnya hak kepemilikan terhadap harta setoran pokok dari anggota koperasi adalah berdasarkan pada kebutuhan akan modal koperasi yang bersifat tetap, sebab anggota dalam suatu koperasi dapat begitu saja keluar dari keanggotaan sehingga modal dalam suatu koperasi terus berubah-ubah.
Dengan berubah-ubahnya modal dalam koperasi ini dikhawatirkan akan menyebabkan dampak berupa sulitnya koperasi untuk berkembang dan terhadap pertanggungjawaban koperasi ketika koperasi tersebut bangkut (Pailit). Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan umum Undang-Undang No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian sebagai berikut:
“Undang-Undang ini mendorong perwujudan prinsip partisipasi ekonomi Anggota, khususnya kontribusi Anggota dalam memperkuat modal Koperasi. Salah satu unsur penting dari modal yang wajib disetorkan oleh Anggota adalah Sertifikat Modal Koperasi yang tidak memiliki hak suara. Sekalipun terdapat keharusan pemilikan Sertifikat Modal Koperasi ini, namun Koperasi tetap merupakan perkumpulan orang dan bukan perkumpulan modal”.[9]
Senada dengan itu, berubahnya ketentuan simpanan wajib menjadi setoran pokok yang tidak dapat dikembalikan dengan perimbangan akan menyebabkan lemahnya struktur permodalan koperasi adalah sebagaimana disinyalir oleh Hans Menkner bahwa penyebab dari kondisi permodalan Koperasi selalu dalam keadaan lemah, yaitu dikarenakan permodalan koperasi lemah secara struktur. Kelemahan tersebut tampak pada: 1) Koperasi selalu mengalami kekurangan modal secara kuantitatif.
Akibatnya pemilik modal (investor) tidak tertarik untuk menanamkan modalnya di Koperasi. 2) Jumlah modal Koperasi selalu dalam keadaan berubah-berubah (berfluktuasi), yang mengakibatkan modal koperasi kadang naik kadang turun. Kelemahan struktural di atas mempunyai dampak negatif terhadap Koperasi, yaitu: a) Susah memaksimalkan modal koperasi.
Karena tidak bisa menarik modal dari pihak luar. b) Jumlah modal Koperasi tidak memiliki ke’ajeg’an sehingga mengganggu kelangsungan investasi usaha, karena anggota mempunyai hak untuk keluar-masuk organisasi Koperasi. Jadi, berdasarkan alasan tersebut yakni lemahnya struktur permodalan koperasi, maka pemerintah merombak ketentuan permodalan koperasi dalam Undang-Undang Perkoperasian No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian.
Pendapat Hans Menker di atas serta alasan dasar pemerintah berupaya memperkuat struktur permodalan koperasi bila dikaji secara teoritis dapat dijelaskan sebagai berikut, yaitu diantaranya yaitu pertama prinsip keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela, ini akan melemahkan struktur permodalan dalam jangka panjang, sebab jika perkoperasian tidak mampu melayani kepentingan anggota, ia bisa keluar dari keanggotaan koperasi.
Konsekuensinya , modal yang tertanam dalam koperasi harus dikembalikan. Kedua prinsip kontrol secara demokratis, menyebabkan anggota yang memiliki modal dalam jumlah banyak keluar dari keanggotaan koperasi. Ini disebabkan karena sang pemilik modal besar tidak memiliki perusahaan koperasi tersebut sepenuhnya dan akan memilih organisasi non-koperasi.[10]
Maka dari itu untuk mengatasi kelemahan tersebut koperasi harus mempunyai aturan dan sedapat mungkin mengurangi kelemahan agar koperasi dapat eksis dalam persaingan yaitu dengan membatasi jumlah anggota asal pembatasan itu tidak arfisial (pembatasan dibuat-buat). Menyamaratakan permodalan sebagai anggota koperasi agar tidak terjadi kesenjangan.[11]
Permasalahan yang kemudian muncul adalah langkah-langkah apa yang harus dilakukan koperasi untuk memperkuat struktur permodalanya ?. Sehubungan dengan itu, untuk menanggulangi permasalahan tersebut melihat ketentuan permodalan koperasi dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tampak bahwa pemerintah mengambil inisiatif dengan membatasi kepemilikan anggota terhadap setoran pokok dan juga berupaya meningkatkan partisipasi anggota melalui sertifikat modal.
Namun, dalam kaitan ini, pertimbangan ketentuan pengembalian setoran pokok koperasi yang didasarkan atas mudah berubah-ubahnya modal koperasi sebagaimana dinyatakan di atas. Dalam pandangan penulis, merupakan pertimbangan yang masih belum mampu mewakili unsur syarat tertentu dan mampu mewujudkan keadilan dan kemanfaatan.
Hal ini karena, ketentuan permodalan dalam suatu koperasi yang tidak hanya terdiri atas “setoran pokok” melainkan di dalamnya juga terdiri dari berbagai unsur permodalan yang secara lebih rinci disebutkan dalam Pasal 66 Undang-Undang No.17 Tahun 2012, sebagai berikut:
- Modal Koperasi terdiri dari Setoran Pokok dan Sertifikat Modal Koperasi sebagai modal awal.
- Selain modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) modal Koperasi dapat berasal dari:
- Hibah;
- Modal Penyertaan;
- modal pinjaman yang berasal dari:
- Anggota;
- Koperasi lainnya dan/atau Anggotanya;
- bank dan lembaga keuangan lainnya;
- penerbitan obligasi dan surat hutang lainnya; dan/atau
- Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
dan/atau
- sumber lain yang sah yang tidak bertentangan dengan Anggaran Dasar dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari ketentuan Pasal 66 UU No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tersebut, yang merupakan modal sendiri koperasi adalah setoran pokok, sertifikat modal, dan hibah. Dari beberapa unsur permodalan tersebut setidaknya suatu koperasi dapat menanggulangi permasalahan dalam struktur permodalan koperasi tanpa harus mengambil alih hak kepemilikan anggota dalam setoran pokok. Selain itu, dalam pengelolaan keuangaannya, koperasi diwajibkan pula untuk menyisihkan dana cadangan sebagai modal tetap dalam koperasi.
Dengan adanya dana cadangan yang merupakan kumpulan sisa hasil usaha tidak dibagikan kepada anggota, tetapi dipergunakan untuk cadangan, dana cadangan tersebut akan dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan bersama tanpa pengaruh oleh perubahan modal anggota, karena penguduran diri seseorang/sejumlah anggota. Oleh karena itu, pertimbangan bahwa modal dalam suatu koperasi dapat berubah-ubah yang kemudian menimbulkan dampak sulit berkembanganya suatu koperasi tidak dapat dibenarkan.
Alasan tersebut dapat diperkuat dengan kenyataan bahwa dalam bentuk-bentuk badan usaha lainya pun tidak ada ketentuan yang mewajibkan anggota untuk menyerahkan sejumlah modal yang tidak dapat diambil kembali. Dan tanpa adanya ketentuan tersebut, badan-badan usaha itu pun masih mampu memperkuat struktur permodalannya.
Perkembangan suatu koperasi yang hanya didasarkan pada ketentuan setoran pokok, adalah merupakan dasar pertimbangan yang tidak komprehensif, seharusnya tumbuh dan berkembangnya suatu koperasi didasarkan kepada aspek manajemen dan pengelolaan dari modal koperasi itu sendiri. Apabila manajemen dan pengelolaan dalam suatu koperasi baik, maka dapat dipastikan bahwa koperasi tersebut akan mampu berkembang dan bersaing dengan badan usaha lainya.
Berkaitan dengan pertimbangan atas mudah berubahnya modal koperasi akan menjadikan lemahnya pertanggungjawaban koperasi ketika dalam keadaan pailit, juga merupakan pertimbangan yang kurang komprehensif, hal ini disebabkan karena kondisi pailit merupakan kondisi yang belum tentu terjadi. Selain itu, apabila dalam suatu koperasi benar-benar terjadi pailit masih terdapat dana cadangan yang dapat digunakan koperasi sebagai pertanggungjawaban kepada kreditur.
Adapun apabila dana cadangan tersebut tidak mencukupi baru kemudian berdasarkan pada kondisi pailit yang benar-benar terjadi, maka suatu koperasi dengan perimbangan keadilan dan kemanfaatan bagi kepentingan umum secara hukum dapat mengikut-sertakan modal-modal lainya guna mencukupi kekurangan dari dana cadangan tersebut.
Dilihat dari aspek kemanfaatan bagi koperasi maupun masyarakat umum, ketentuan setoran pokok yang tidak dapat dikembalikan tersebut akan menjadikan keengganan masyarakat untuk ikut serta menjadi anggota dalam suatu koperasi, masyarakat baru akan benar-benar mempercayakan modalnya terhadap koperasi hanya jika koperasi tersebut telah berkembang dan kuat.
baca juga Status Badan Hukum Bagi LSM
Oleh karena itu, ketentuan setoran pokok yang tidak dapat dikembalikan ini justru akan berdampak pada sulitnya memupuk modal koperasi dan sulitnya mendapat kepercayaan masyarakat untuk menjadi anggota dalam suatu koperasi.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa ketentuan setoran pokok yang tidak dapat dikembalikan dalam Pasal 67 ayat 1 UU No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian tidak mampu memenuhi unsur syarat tertentu dan aspek kepastian, keadilan dan kemanfataan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketentuan setoran pokok yang tidak dapat dikembalikan dalam Pasal 67 ayat 1 UU No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian adalah bertentangan dengan landasan dasar koperasi dalam Pasal 33 UUD 1945 dan juga Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 tentang Hak Milik.