notarisdanppat.com Gak Cuma Ngebor, Industri Nikel Juga Kena Pajak! Dito berdiri di depan layar besar ruang presentasi startup-nya. Cowok lulusan teknik pertambangan itu lagi pitching ide ke calon investor, dan topiknya bukan main-main: pajak industri nikel. Tapi cara Dito ngejelasin tuh beda, gak kayak dosen yang baca slide, tapi lebih kayak ngobrol santai ala Gen Z.
“Bayangin lo punya tambang nikel, tapi lo cuma ngambil bijih mentah terus diekspor. Sekarang, pemerintah bilang, ‘Stop bro! Olah dulu di dalam negeri biar cuan gede!’” kata Dito sambil nunjukin infografis warna-warni.
Salah satu investor, tante Rika, langsung angkat tangan, “Maksudnya gimana tuh? Pajaknya jadi beban dong?”
“Nah ini menariknya, tante. Justru ini cara pemerintah dorong industri tambang biar gak stuck di tahap awal doang. Pajak progresif itu kayak alarm yang bikin pelaku industri mikir ulang soal strategi. Biar mereka move on dari cuma ngejual Nickel Pig Iron (NPI) atau feronikel, ke produk yang lebih high value kayak baterai mobil listrik,” jawab Dito semangat.
Gilang, partner Dito yang megang bagian legal, langsung nimbrung, “Sekarang ada beberapa jenis pajak yang wajib dibayar pelaku industri nikel. Mulai dari PPh, PPN, royalti, sampai PNBP. Nah, yang lagi hot itu pajak ekspor produk turunan nikel. Mulai dari NPI, feronikel, sampai nanti bisa jadi semua produk nikel bakal kena juga.”
Mereka bertiga ngobrol makin dalam soal kenapa sih pemerintah ribet banget bikin kebijakan pajak ini. Gilang buka laptop, terus share data dari Kemenko Marves.
“Deputinya bilang, alasannya ada dua. Pertama, buat dorong hilirisasi alias biar industri gak berhenti di situ-situ aja. Kedua, buat jaga cadangan nikel kita yang makin dikuras, terutama jenis saprolite yang dipake buat NPI dan feronikel,” jelas Gilang.
Tante Rika angguk-angguk. “Jadi kayak disuruh naik kelas ya?”
“Exactly!” kata Dito, “Kita tuh produsen nikel terbesar di dunia. Tahun 2022 aja kita nyumbang 1,6 juta metrik ton. Tapi kalau kita terus ekspor barang setengah jadi, negara lain yang panen untung. Indonesia cuma dapet ‘uang jajan’ dari royalti dan pajak kecil.”
Investor lain, Mas Rio, yang dari sektor manufaktur, ikut nanya, “Kalau begitu, pajaknya progresif itu gimana sih skemanya?”
Gilang jawab, “Untuk sekarang sih baru 2% buat harga nikel di kisaran US$15.000 – US$16.000 per ton. Tapi ini bisa berubah sesuai harga pasar global. Makin mahal harga nikelnya, bisa jadi makin tinggi pajaknya.”
“Dan itu bukan cuma buat ngegenjot penerimaan negara, tapi juga biar industri gak seenaknya ngeruk cadangan. Karena realitanya, jumlah smelter sekarang lebih banyak daripada cadangan saprolite yang tersedia. Kalau dibiarkan, bisa-bisa anak cucu kita udah gak kebagian bahan baku,” tambah Dito.
baca juga
- Konsultan Pajak Bukan Buat Sultan Doang: Semua Orang Bisa Pake
- Terjebak Sengketa Pajak? Chill, Ini Cara Lo Bisa Lawan Lewat Jalur Litigasi
- Jual vs Sewa Properti Sama-Sama Kena Pajak Tapi Cara Kenaikannya Beda Gengs
- PPN 0% ITU BUKAN FREE PAJAK YAA, JANGAN KE-GASLIGHT SAMA ANGKA 0
- Deposito Kena Pajak? Gak Salah Baca, Bro! Cek Dulu Biar Gak Zonk Saat Dapet Bunga
Mas Rio terlihat mikir dalam. “Berarti yang dibidik itu bukan cuma duit sekarang, tapi sustainabilitas jangka panjang.”
“Yup. Dan ini yang bikin kebijakan pajak nikel jadi dua sisi mata uang. Di satu sisi, bisa bikin perusahaan mikir dua kali sebelum ekspor mentahan. Di sisi lain, investor asing juga bisa jadi lebih tertarik bangun pabrik pengolahan di Indonesia, karena tahu arahnya jelas: tambah nilai tambah, dapet insentif. Gitu,” Dito menjelaskan.
Tante Rika pun tersenyum, “Kamu ngerti banget ya tentang industri ini. Bener-bener kekinian tapi tetap analitis. Saya suka pendekatannya.”
Dito ketawa, “Makanya saya sama Gilang bikin startup konsultan tambang dan perpajakan. Soalnya kita sadar banget, banyak pengusaha yang masih bingung soal regulasi dan pajak. Mereka takut ribet, padahal sebenernya tinggal ngerti konsepnya dan main strategi.”
Gilang menambahkan, “Kebijakan ini sebenarnya punya efek berantai. Misalnya, kalau banyak perusahaan akhirnya milih bangun pabrik baterai di sini, itu artinya bakal banyak lapangan kerja baru, transfer teknologi, bahkan kota-kota tambang bisa naik level jadi pusat industri energi terbarukan.”
Tiba-tiba salah satu investor muda, Naya, yang baru gabung dari dunia startup energi, nyeletuk, “Tapi berarti sekarang momen emas buat masuk ke bisnis hilir nikel ya? Daripada nambang terus dicekik pajak.”
“Betul banget!” kata Dito. “Pemerintah tuh pengen ngasih sinyal, ayo lo semua jangan jadi penambang doang. Jadilah produsen teknologi juga. Kita punya bahan mentah, kenapa gak sekalian produksi mobil listriknya juga? Jadi end-to-end value chain-nya bisa kita kuasai.”
Naya senyum, “Wah gila sih. Kalo lo bisa bantu aku connect ke pelaku industri hilir, gue mau coba pilot project bikin komponen baterai lokal.”
“Deal! Tapi jangan lupa, semua urusan pajaknya gue yang atur ya,” kata Gilang sambil ketawa.
Dari ruang presentasi yang awalnya biasa aja, pembicaraan mereka justru membuka cakrawala baru tentang arah industri nikel Indonesia. Gak cuma soal pajak, tapi soal masa depan ekonomi yang lebih berdikari, sustain, dan pastinya, bikin Indonesia makin diperhitungkan di mata dunia.
Penerapan pajak industri nikel bukan sekadar beban fiskal, tapi sinyal kuat untuk naik kelas. Dan bagi generasi muda kayak Dito, Gilang, dan Naya, ini bukan tantangan, tapi peluang buat jadi bagian dari babak baru transformasi ekonomi Indonesia.
Lo punya bisnis di sektor tambang? Atau pengen terjun ke hilirisasi? Pahami dulu strategi pajaknya, dan siapa tahu lo yang jadi pemain besar berikutnya.