Hukum Perjanjian dan Asas Perjanjian Pinjam Meminjam

www.notarisdanppat.com –  Perjanjian menurut Sudikno Mertokusumo adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum, dua pihak sepakat menentukan peraturan hukum atau khaidah atau hak dan kewajiban yang mengikat mereka untuk menimbulkan hak dan nkewajiban kalau kesepakatan ini dilanggar, maka ada akibatnya si pelanggar dapat dikenakan akibat hukum dan sanksi.

R. Subekti  menyatakaan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan.

Adapun pengertian perjanjian sebagaimana tercantum dalam pasal 1313 KUH Perdata adalah: “Suatu perbuatan dengan nama satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUHPerdata tersebut sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih salin mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.

Dengan adanya pengikatan antar satu orang atau lebih dengan orang lain, maka ada hubungan timbal balik antar kedua belah pihak, yang keduanya mempunyai kewajiban, maka dapat dimengerti bahwa arti perjanjian disini adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yaitu pihak satu berjanji untuk melakukan atau dianggap berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. Jadi suatu perjanjian mempunyai kebenaran mengikat bagi pembuatnya untuk menepati apa yang mereka janjikan.

 

  1. Syarat Sahnya Perjanjian

Dalam pelaksanaan perjanjian diperlukan syarat–syarat untuk sahnya suatu perjanjian seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

  1. Sepakat untuk mengikatkan dirinya.

Sepakat berarti bahwa adanya penerimaan suka rela terhadap masing-masing kehendak dari para pihak. Sepakat juga dapat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran disebut akseptasi (acceptatie).  Penerimaan tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada unsur paksaan maupun penipuan dalam suatu perjanjian. Dengan demikian apabila ada unsur paksaan maupun penipuan dalam perjanjian , maka perjanjian batal demi hukum.

  1. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

Mengenai kecakapan bertindak dalam hukum khususnya dalam hal pembuatan kontrak pada dasarnya seseorang adalah berhak atau cakap dalam membuat kontrak, kecuali apabila telah ditentukan oleh UU. Sedangkan orang-orang yang tidak cakap dalam bertindak membuat suatu kontrak telah diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata dimana disebutkan bahwa orang-orang yang tidak cakap adalah :

  • Orang yang belum dewasa atau masih dibawah umur
  • Orang yang dibawah pengampuan.
  • Seseorang yang didalam hal-hal tertentu yang telah ditentukan oleh UU dan pada umumnya semua orang kepada siapa UU telah melanggarnya.
  1. Sesuatu hal tertentu.

Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, suatu perstasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian dan merupakan objek dari perjanjian. Apa saja yang menjadi objek dari perjanjian haruslah disebutkan dalam perjanjian secara jelas, misalnya mengenai peralatan, pembagian keuntungan dan lain-lain. Objek perjanjian tersebut kemudian juga menjadi objek dari hukum perjanjian itu sendiri, artinya selain para pihak yang melakukan perjanjian, objek perjanjian tertentu juga dapat dikenai akibat hukum. Objek suatu perjanjian sekurang-kurangnya dapat ditentukan bahwa objek tertentu itu dapat berupa benda yang sekarang ada dan nanti akan ada. Adapun syarat dari objek perjanjian, secara lebih rinci adalah:

  • Barang itu adalah barang yang dapat diperdagangkan.
  • Barang-barang yang digunakan untuk kepentingan umum tidak dapat dijadikan objek perjanjian.
  • Dapat ditentukan jenisnya.
  • Barang yang akan datang, dalam kaitan ini hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja
  • Barang yang akan ada
  1. Klausa sebab yang halal.

Mengenai suatu sebab yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang untuk membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai. Dalam Pasal 1335 KUH Perdata menyebutkan ketentuan bahwa suatu persetujuan atau perjanjian tanpa sebab yang halal atau yang dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang maka tidak akan mempunyai kekuatan hukum. Sedangkan yang dimaksud suatu sebab yang halal adalah sesuatu yang tidak bertentangan dengan UU, kesusilaan dan ketertiban umum.

 

  1. Perjanjian Pinjam Meminjam

Mengenai perjanjian pinjam-meminjam pengaturannya terdapat dalam buku ke III bab XIII KUHPerdata. Pasal 1754 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa :

“perjanjian pinjam-meminjam adalah persetujuan dengan mana pohak yang satu memberikan kepada pihak yang lain sesuatu jumlah tentang barang-barang atau uang yang menghabiskan karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan dengan jumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.

Ketentuan Pasal 1754 KUHPerdata tersebut menunjukkan bahwa seseorang yang meminjamkan sejumlah uang atau barang tertentu kepada pihak lain, ia akan member kembali sejumlah uang yang sama sesuai dengan persetujuan yang disepakati.

Dari pengertian tersebut diatas kiranya dapat dilihat beberapa unsur yang terkandung dalam suatu perjanjian pinjam meminjam diantaranya :

  1. Adanya para pihak

Pihak pertama memberikan prestasi kepada pihak lain suatu jumlah tertentu barang-barang dengan syarat bahwa pihak kedua ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula

  1. Adanya persetujuan

Dimana pihak pertama dan kedua membuat perjanjian bersama yang menyangkut dengan waktu, kewajiban dan hak-hak masing-masing yang dituangkan dalam bentuk perjanjian

  1. Adanya sejumlah barang tertentu

Barang tersebut dipercayakan dari pihak pertama kepada  pihak kedua

  1. Adanya pengembalian Pinjaman

Bahwa pihak kedua akan mnyerahkan sejumlah tertentu barang-barang kepada pihak yang pertama.

Perjanjian pinjam meminjam tersebut dapat juga dikatakan perjanjian pinjam penganti karena objek pinjaman itu hanya/terdiri dari benda yang habis dalam pemakaian, tetapi dapat pula berupa uang sedangkan pinjaman habis dalam pemakaian terdiri dari benda yang tidak habis dalam pemakaian pinjam meminjam uang merupakan perjanjian kesensuai dan riil.

Dalam hal ini Mariam Darus badrulzaman berpendapat bahwa Apabila dua pihak telah mufakat mengenai semua unsur dalam perjanjian pinjam meminjam uang maka tidak beranti bahwa perjanjian tentang pinjam uang itu telah terjadi. Yang hanya baru terjadi adalah perjanjian untuk mengadakan perjanjian pinjam uang. Apabila uang yang diserahkan kepada pihak peminjam, lahirlah perjanjian pinjam meminjam uang dalam pengertian undang-undang menurut bab XIII buku ketiga KUHPerdata.[1]

Selanjutnya R. Subekti memberikan pendapat, Pada perjanjian ini barang atau uang yang dipinjamkan itu menjadi milik orang yang menerima pinjaman, penerima pinjam dapat membawa atau mempergunakan barang atau uang tersebut menurut kemauannya, karena sejak uang itu diserahkan kepada kepada peminjam, maka saat itu pula putuslah hubungan hak milik dengan pemiliknya. Karena sipeminjam diberi kekuasaan untuk menghabiskan barang atau uang pinjaman, maka suadah setepatnya ia dijadikan pemilik dari uang itu. Sebagai pemilik ia juga memikul segala barang tersebut dalam hal pinjaman uang dan kemerosotan nilai uang.

Pasal 3 Undang-undang meminjam Uang Tahun 1938. S.1938 No. 523 juga merumuskan pengertian perjanjian perjanjian pinjam meminjam uang :

Yang dimaksud dengan undang-undang ini dengan meminjam uang adalah setiap perjanjian dengan mana dan bentuk apapub juga, dimaksudkan untuk menyediakan aung dan menyerahkan secara langsung atau tidak langsung kedalam kekuasaan peminjam, dengan kewajiban peminjam untuk melunaskan hutangnya sesudah suatu jangka waktu tertentu sekaligus ataupun secara mencicil, yaitu dengan membayar uang yang sama besarnya atau yang lebih besar ataupun dengan menyerahkan benda atau beberapa benda.

Titik tolak ketentuan perjanjian tersebut adalah mengenai pengertian perjanjian pinjam meminjam uang yang meliputi unsure-unsur prestasi, imbalan prestasi, suatu jangka waktu tetentu dan bunga yang masing-masing diatur dengan undang-undang itu.

Sebagaimana halnya perjanjian pada umumnya perjanjian pinjam meminjam yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi persyaratan yang ditentukan undang-undang. Hal ini sesuai dengan pendapat Abdul Kadir Muhammad yang mengatakan bahwa “Perjanjian yang sah adalah perjanjiann yang syarat-syaratnya telah ditentukan dalam undang-undang sehingga dapat diakui oleh hukum (Legally Conchide)”[2]

Perjanjian pinjam meminjam baru dapat dikatakan sah dan meningkat serta mempunyai kekuatan hukum, apabila telah memenuhi unsur sebagaimana yang telah ditegaskan dalam pasal 1320 KUHPertada.  Mengenai pinjaman uang dengan bunga Pasal 1765 KUHPerdata menyebutkan bahwa “diperbolehkan memperjanjikan bunga atas pinjaman uang atau lain barang yang telah menghabiskan karena pemakaian”.

Berdasarkan rumusan Pasal 1754 HUHPer, perjanjian pinjam-meminjam mensyaratkan barang yang menjadi obyek perjanjian adalah barang yang dapat habis karena pemakaian. Apabila obyek dalam suatu perjanjian adalah barang yang tidak dapat habis karena pemakaian, maka perjanjian tersebut bukanlah perjanjian pinjam-meminjam melainkan jenis perjanjian lainnya sehingga menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula dari perjanjian pinjam-meminjam.

Akibat Hukum dari Perjanjian Pinjam Meminjam adalah:

  • Perjanjian pinjam-meminjam menyebabkan terjadinya perpindahan hak atas kepemilikan dari barang yang menjadi obyek perjanjian. Hal tersebut menyebabkan ‘pihak peminjam’ memiliki kekuasaan penuh atas barang obyek perjanjian dan menimbulkan konsekuensi baginya bahwa apabila barang obyek perjanjian tersebut rusak atau musnah ketika barang tersebut telah berada pada kekuasaannya, maka segala kerusakan dan musnahnya barang obyek perjanjian tersebut menjadi tanggungannya (Pasal 1755 KUHPer).
  • Pihak yang meminjamkan bertanggungjawab terhadap cacad-cacad yang terdapat pada barang obyek perjanjian yang diketahuinya telah ada sebelum penyerahan barang terjadi. Dalam keadaan tersebut, pihak yang meminjamkan berkewajiban untuk mengganti barang obyek perjanjian yang cacad tersebut dengan barang yang sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan (Pasal 1762 KUHPer).
  • Dalam hal obyek perjanjiannya adalah uang, maka pihak peminjam hanya berkewajiban mengembalikan uang atas jumlah yang disebutkan dalam perjanjian (Pasal 1756 KUHPer).
  • Jika terjadi kenaikan atau penurunan/kemunduran terhadap nilai mata uang yang menjadi obyek perjanjian, maka kewajiban dari pihak peminjam adalah sebesar nilai mata uang yang bersangkutan pada saat pelunasan (pasal 1756 KUHPer), kecuali telah ditegaskan pada perjanjian bahwa pihak peminjam berkewajiban untuk mengembalikan uang yang telah dipinjamnya dengan menggunakan mata uang yang sama (pasal 1757 KUHPer).
  • Apabila obyek perjanjian adalah barang yang berupa emas, perak atau barang-barang perdagangan lainnya, maka pihak peminjam berkewajiban untuk mengembalikan barang sesuai dengan jenis, jumlah dan mutu yang sama dengan apa yang telah dipinjamnya tanpa mengindahkan naik atau turunnya harga dari barang yang bersangkutan (pasal 1758 KUHPer).
  • Pihak yang meminjamkan tidak boleh meminta barang yang telah dipinjamkannya sebelum lewat jangka waktu pengembalian sesuai yang telah disepakati dalam perjanjian. (Pasal 1759 KUHPer).
  • Pihak Peminjam berkewajiban untuk mengembalikan barang pinjaman dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktu yang telah ditentukan. Jika pihak peminjam tidak mampu memenuhi kewajibannya tersebut, maka pihak peminjam berkewajiban untuk membayar harga barang yang telah dipinjamnya tersebut sesuai dengan harga pada waktu dan tempat pengembalian sesuai dengan perjanjian (Pasal 1763-1764 KUHPer).
  • Pihak Peminjam berkewajiban untuk membayar bunga apabila bunga tersebut diperjanjikan (Pasal 1766 KUHPer).

Baca Juga :

  1. Hukum Sewa Menyewa Berdasar KUHP dan Menurut Hukum Islam
  2. Berbagai Hukum Perjanjian Dan Pedoman Jual Beli Di Indonesia
  3. Subyek Hukum Yayasan Dalam Hukum Perusahaan

Asas-Asas Perjanjian

Asas hukum perjanjian merupakan landasan norma yang dapat menjadi alat uji bagi norma hukum yang ada, dalam arti norma hukum tersebut pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum yang menjiwainya. Asas-asas hukum perjanjian ini dalam kerangka hukum positif memilki dua fungsi utama yakni, pertama sebagai alat yang membangun konstruksi hukum perjanjian, membagun fondasi dan menempatkan kedudukan hukum para pihak secara setara. Kedua, sebagai asas-asas yang mengarahkan pada pihak untuk membentuk subtansi (isi) dari perjanjian. Dengan demikian pembahasan dalam asas hukum kontrak ini terbagi menjadi dua, adapun lebih rinci adalah sebagai berikut:

  1. Asas Hukum Perjanjian yang Membangun Konstruksi Hukum Perjanjian
  2. Asas Konsensualitas

Merupakan asas yang berasal dari kata “consensus” yang berarti sepakat. Dalam membuat perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan (konsensus) yakni para pihak sepakat atau setuju mengenai prestasi yang diperjanjikan. Asas konsensualitas ini terkandung dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang mengharuskan adanya kata sepakat di antara para pihak yang membuat kontrak.

  1. Asas kebebasan membuat Kontrak

Dalam bahasa lain asas ini dikenal dengan istilah “partij otonomie” atau “freedom of contract” atau “liberty of contract”. Asas ini merupakan bentuk asas yang sifatnya universal di anut oleh seluruh negara termasuk Indonesia. Sultan Remy Sjahdeini menjelaskan bahwa membuat kontrak menurut hukum perdata di Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut:

  • Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat kontrak;
  • Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat kontrak;
  • Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari kontrak yang akan dibuatnya;
  • Kebebasan untuk menentukan objek kontrak;
  • Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu kontrak;
  • Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional.

Meskipun disebut sebagai asas kebebasan berkontrak, bukan berarti bebas secara utuh melainkan ada beberapa pembatasan di dalamnya. Adapun pembatasan tersebut berada pada ketentuan pasal 1337 yang membatasi kontrak dilarang bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

  1. Asas Kekuatan Mengikat Kontrak

Asas kekuatan mengikat ini merupakan asas yang mengharuskan para pihak memenuhi apa yang telah merupakan ikatan mereka satu sama lain dalam kontrak yang mereka buat. Asas hukum ini disebut juga dengan asas pacta sun servada, yang secara konkrit dapat dicermati dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang memuat ketentuan bahwa “semua kontrak yang dibuat sesuai dengan undang-undang, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

  1. Asas Itikad Baik

Asas ini sebenarnya muncul dari ketentuan imperatif yang tertera dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menjelaskan bahwa “Kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Akan tetapi KUHPerdata tidak memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai apa yang dimaksud dengan itikad baik ini. Makna “itikad baik” sendiri menurut Kamus Bahasa Indonesia adalah kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud kemauan (yang baik). Jadi dapat disimpulkan bahwa maksud itikad baik adalah semangat yang menjiwai para pihak dalam suatu perbuatan hukum atau tersangkut dalam hubungan hukum.

  1. Asas kesimbangan

Seimbang artinya adalah keadaan seimbang, sebanding, setimpal. Dalam maknanya dengan perjanjian berarti keseimbangan posisi para pihak yang membuat kontrak. Dalam hubungannya dengan perikatan, seimbang bermakna tidak ada faktor-faktor yang mengganggun posisi keseimbangan para pihak dalam melakukan kontrak.

  1. Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan merupakan asas yangs sangat penting dalam suatu perjanjian, kepercayaan akan menimbulkan suatu kehendak timbal balik diantara para pihak. Sebelum melakukan perjanjian, kepercayaanlah yang terlebih dahulu harus dibangun oleh para pihak. Asas kepercayaan ini bukan merujuk pada kehendak para pihak, tetapi merupakan bentuk pengharapan yang muncul pada pihak yang bereaksi terhadap apa yang dinyatakan.

  1. Asas Hukum yang Mengarah pada Subtansi Hukum Perjanjian
  2. Asas Kepatutan

Asas kepatutan ini berkaitan langsung dengan tatanan moral dan sekaligus tatanan akal sehat pada suatu tindakan atau suatu situasi faktual tertentu. Asas kepatutan ini mengarahkan isi suatu kontrak yang harus memperhatikan unsur keadilan dalam masyarakat. Asas kepatutan ini terkandung dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “ Kontrak-kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat kontrak, diharuskan oleh “kepatutan”, kebiasaan atau undang-undang”.

  1. Asas Moral

Asas moral tampak dalam kontrak yang menimbulkan perikatan wajar, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak lainya. Asas moral ini terdapat dalam Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan “ kesusilaan”.

  1. Asas Kebiasaan

Sebagaimana asas lainya asa kebiasaan ini terkandung juga dalam ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata yang memuat kententuan bahwa “ Kontrak-kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat kontrak, diharuskan oleh “kepatutan”, kebiasaan atau undang-undang”. Asas kebiasaan mengarahkan suatu kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang diatur secara tegas dalam undang-undang, yurisprudensi dan sebagainya, tetapi juga yang menjadi kebiasaan yang diikuti secara umum.

  1. Asas Ganti Kerugian

Asas ganti kerugian ini terncantum dalam Pasal 1243 KUHperdata sebagai berikut “ akibat wanprestasi yang dilakukan oleh debitur atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak, yang menimbulkan kerugian bagi kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi dari pihak lainya dalam kontrak, menimbulkan kewajiban debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalalm kontrak untuk membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi dan pihak lainya dalam kontrak tersebut.

  1. Asas ketepatan waktu

Asas ketepatan waktu in sangat penting untuk menentukan kapan suatu kontrak berakhir atau hapus dan sebagai dasar penuntutan bagi pihak-pihak yang dirugikan, karena kontrak yang dilaksanakan tidak tepat waktu. Dlam kontrak tertulis batas waktu pelaksanaan kontrak selalu ditegaskan. Jika prestasi tidak dilaksanakan sesuai dengan waktu yang diperjanjikan, maka salah satu pihak wanprestasi atau cidera janji.

  1. Asas keadaan memaksa

Asas keadaan memaksa merngarahkan setiap kontrak mencantumkan klausula keadaan memaksa dalam kontrak, karean hal-hal diluar kemampuan manusia atau diakibatkan oleh kejadian alam. Asas keadaan memaksa ini merujuk pada aturan dalam Pasal 1244 dan pasal 1245 .

  1. Asas pilihan hukum

Asas pilihan hukum (choice of forum) ini sangat penting, umumnya asas ini berlaku ketika perjanjian mengandung unsur internasional, yaitu para pihak berbeda kewarganegaraan dan memiliki sistem hukum yang berbeda. Asas ini menjadikan penting karena ada beberapa pihak asing yang tidak senang bahwa kontraknya ditafsirkan menurut hukum suatu negara tertentu.

  1. Asas Penyelesaian Sengketa

Asas penyelesaian sengketa ini menghendaki setiap kontrak tertulis secara tegas bentuk dan mekanisme hukum penyelesaian sengketa hukum kontrak di antara para pihak yang membuat kontrak. Asas penyelesaian sengketa penting untuk menentukan pilihan forum berupa lembaga pengadilan, lembaga arbitrase, atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hukum kontrak, jika sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak.

Demikianlah asas-asas yang sangat penting bagi pembuatan suatu perjanjian. Asas kategori pertama mendasari para pihak ketika akan mengadakan kesepakatan dan memposisikan para pihak secara adil menurut hukum. Asas kategori kedua adalah asas yang harus diperhatikan para pihak dalam membentuk isi dari kontrak.

Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian

Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian Indoensia tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Sehubungan dengan asas kebebasan berkontrak ini dapat dilihat dalam pasal 1338 ayat KUH Perdata yang berbunyi:

“ Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”

Menurut R. Subekti, perkataan semua dalam pasal tersebut mengindikasikan bahwa dalam pasal tersebut seolah-oleh berisikan suatu pernyataan kepada masyarakat bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian berupa dan berisi apa pun (atau tentang apa saja), dan perjanjian itu mengikat mereka sebagai undang-undang.[1] Mariam Darus Badrulzaman menegaskan bahwa dengan istilah “semua” terkandung asas yang dikenal dengan asas “ partij autonimie”. Dengan istilah “secara sah” , pembuat undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum. Adapun yang dimaksud secara sah disini adalah terpenuhinya ketentuan-ketentuan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Dengan demikian, barulah suatu perjanjian dapat mengikat para pihak seperti halnya undang-undang.[2]

Dengan asas kebebasan berkontrak, para pihak dalam perjanjian bebas dan berhak menentukan apa saja yang diinginkan dan sekaligus juga diperkenankan untuk menentukan apa-apa saja yang tidak dikehendaki dalam suatu perjanjian, dan perjanjia itu akan mengikat para pihak yang mengadakannya.[3] Adapun mengenai ruang lingkup asas kebebasan berkontrak, Johanes Gunawan mengemukakan bahwa kebebasan berkontrak meliputi:

  1. Kebebasan untuk menutup atau tidak menutup perjanjian;
  2. Kebebasan untuk memilih dengan siapa membuat perjanjian;
  3. Kebebasan menetapkan bentuk perjanjian;
  4. Kebebasan menetapkan isi perjanjian;
  5. Kebebasan untuk menentukan cara membuat perjanjian.

Selanjutnya Suta Remi Syahdeni mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia, meliputi:

  1. Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
  2. Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
  3. Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang dibuatnya;
  4. Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
  5. Kebebasan untuk membuat bentuk perjanjian;
  6. Kebebasan untuk menerima dan menyimpangi ketentuan Undang-Undang yang bersifat lengkap.

Dalam kaitan ini, meskipun asas kebebasan berkontrak berarti bahwa kebebasan para pihak untuk menentuk bentuk, isi, syarat, tujuan dan hal-hal yang berkaitan dengan suatu perjanjian bukan berarti asas ini tidak memiliki pembatasan. Sehubungan dengan itu, Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa hukum kontrak merupakan sub-subsitem dari Hukum Perdata dalam Hukum Nasioal. Seluruh sub-subsistem ini satu sama lain berhubungan secara harmonis, serasi dan seimbang. Asas-asas dalam Hukum Perdata harus senada dan seirama dengan asas-asas yang terdapat dalam Hukum Nasional. Demikian halnya dengan asas kebebasan berkontrak harus selaras dengan asas Hukum Perdata. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa asas kebebasan berkontrak sebagai salah satu asas hukum perjanjian Indonesia dibatasi oleh asas hukum lainya.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa asas kebebasan berkontrak ini harus sesuai dengan Pancasila sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangasa. Adapun secara lebih rinci, asas kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh beberapa hal sebagai berikut:

  1. Pembatasan dalam KUH Perdata

Pembatasan oleh Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yaitu hanya mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Pasal 1320 KUH Perdata mengandung pembatasan bahwa para pihak hanya dapat membuat perjanjian yang menyangkut causa yang halal saja, diperkuat dengan Pasal 1337 KUH Perdata, bahwa suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya, Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata tentang berlakunya asas itikas baik dalam melaksanakan perjanjian.

  1. Pembatasan oleh Pancasila

Yakni dibatasi oleh Sila Keadilan Yang Beradab. Dalam sila ini manusia diakui dan diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai mahluk Tuha Yang Maha Esa, sama derajatnya, sama hak dan kewajiban asasinya, tanpa membedakan suku, agama, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagaiya. Dengan demikian, asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh perwujudan harkat dan martabat manusia dalam lapangan kehidupa sosial.

  1. Pembatasan Oleh Negara

Alenia keempat Pembukaa UUD 1945 mencantumkan bahwa maksud dibentuknya pemerintahan negara Republik Indoensia adalah untuk melindungi dan mencerdaskan kehidupan segenap bangsa. Hal ini berarti bahwa negara mempunyai kewajiban untuk melindungi rakyat dari perlakuan tidak adil, termasuk terhadap perjanjian yang merugikan salah satu pihak. Salah satu perwujudan dari upaya perlindungan terhadap perlakuan tidak adil adalah dengan disahkanya U.U No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bertujuan untuk melindungi konsumen dari perilaku semena-mena para pelaku usaha.

  1. Pembatasan oleh persaingan usaha

Berangkat dari fenomena pencantuman klasula baku oleh pihak-pihak yang berada dalam posisi kuat dalam proses penawarannya, ternyata persaingan usaha diantara para pelaku usaha juga membatasi gerak mereka dalam menentukan syarat-syarat tertentu bagi calon konsumen. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa konsumen tentunya akan memilh produsen yang memberikan syarat-syarat yang lebih ringan dan menarik. Oleh karena itu, dalam membuat klausula baku para pelaku usaha tentunya mempertimbangankan hal-hal tersebut.

 

 

Perjanjian atau Kontrak Kerja

Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Hubungan kerja merupakan suatu hubungan yang dibentuk antara pekerja dengan pengusaha berdasarkan perjanjian kerja.

Menurut Hartono Widodo dan Judiantoro, hubungan kerja adalah kegiatan-kegiatan pengerahan tenaga/jasa seseorang secara teratur demi kepentingan orang lain yang memerintahnya (pengusaha/majikan) sesuai dengan perjanjian kerja yang telah disepakati.[1]

Selanjutnya Tjepi F. Aloewir, mengemukakan bahwa pengertian hubungan kerja adalah hubungan yang terjalin antara pengusaha dan pekerja yang timbul dari perjanjian yang diadakan untuk jangka waktu tertentu maupun tidak tertentu.[2]

Dari kedua definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa hubungan pekerjaan merupakan hubungan antara pekerja dan pengusaha berdasarkan atas perjanjian kerja dimana perjanjian tersebut memuat unsur pekerjaan, upah, dan perintah.

Senada dengan itu dalam pasal 50 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa “ Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan buruh”. Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa untuk mengetahui bagaimana bentuk dari hubungan kerja antara pengusaha dan buruhnya, maka yang dilihat adalah bagaimana perjanjian kerja diantara mereka diatur.

Adapun yang dimaksud pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Berbeda halnya dengan pengertian tenaga kerja yang mana didefnisikan sebagai setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Perbedaan mendasar dari kedua pengertian tersebut adalah bahwa tenaga kerja belum tentu memiliki hubungan kerja, sedangkan pekerja adalah orang yang telah memiliki hubungan kerja dengan seorang pengusaha.

Hal tersebut tentunya memiliki implikasi hukum yang berbeda. Tenaga kerja ini memiliki hubungan erat berkaitan dengan syarat-syarat kecakapan kerja dan juga pada jenis pekerjaan yang ada. Sedangkan pekerja lebih berkaitan dengan aspek hubungannya denga pengusaha yang telah memperkejakaannya. Dalam menganalisa bagaimana perlindungan hukum terhadap kedua subyek hukum tersebut juga berbeda, apabila disebut istilah “perlindunga tenaga kerja” maka yang diacu adalah terhadap proses-proses sebelum ia menjadi pekerja. Sedangkan terhadap “perlindungan pekerja” maka yang diacu adalah bagaimana perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha tersebut diatur. Namun berbeda lagi apabila yang disebut adalah “perlindungan hukum perburuhan atau ketenagakerjaan” maka kedua aspek sebagaimana disebutkan haruslah menjadi dasar pertimbangan hukum.

Adapun pengertian pengusaha sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut:

Pengusaha adalah :

  1. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
  2. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
  3. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Berdasar pada ketentuan pasal tersebut dapat diklasifikasikan bahwa bentuk hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha, antara lain:

  1. Hubungan Pekerja/Buruh dengan Pengusaha yang menjalankan perusahaannya sendiri.
  2. Hubungan Pekerja/Buruh dengan Pengusaha yang menjalankan perusahaan bukan miliknya.
  3. Hubungan Pekerja/Buruh dengan Pengusaha yang menjalankan perusahaan Asing.

Perbedaan jenis hubungan kerja tersebut tentunya juga akan berimplikasi pada aspek hukum dalam hubungan kerja. Misalnya, ketika membuat surat perjanjian atau ketika terjadi perselisihan antara pengusaha dan pekerja, maka bentuk hubungan kerja tersebut akan menetukan siapa-siapa yang memiliki wewenang dan siapa yang harus bertanggungjawab.

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perjanjian kerja tersebut harus memuat 3 unsur yakni pekerjaan, upah, dan buruh. Hal tersebut mengadung arti bahwa:

  1. Pekerjaan

Dalam hubungna kerja harus ada pekerjaan tertentu yang diberikan oleh pengusaha kepada pekerja. Pekerjaan tersebut juga harus dicantumkan dalam kontrak perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

  1. Upah

Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

  1. Perintah

Merupakan hak bagi pengusaha untuk memberintah perintah kepada pekerja. Dalam hubungan kerja harus ada unsur perintah ini. Arinya pengusaha memiliki hak untuk memerintah, sedangkan pekerja wajib untuk mentaati perintah.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *