notarisdanppat.com “Freelance, Pajak, dan Sebuah Reality Check: Kisah Farah yang Baru Sadar Pajak Itu Real Banget” Malam itu, Farah lagi rebahan sambil scroll TikTok. Feed-nya dipenuhi video tutorial desain dan daily vlog para digital nomad. Hidup mereka kelihatan simple, bebas, dan estetik. Tapi satu hal yang nggak pernah mereka ceritain? Pajak.
Farah sendiri udah dua tahun jadi freelance graphic designer. Kliennya campur, dari UMKM lokal sampai startup Singapura. Gaji bulanan? Nggak tetap, tapi lumayan banget buat ukuran anak 24 tahun yang kerja dari rumah.
Sampai akhirnya, satu email dari Direktorat Jenderal Pajak bikin dia panik.
“Yth. Wajib Pajak, harap segera melaporkan dan menyetor Pajak Penghasilan Anda.”
Farah bengong. “Gue wajib pajak? Lah, kan gue bukan pegawai tetap.”
Dia langsung WA Damar, temannya yang kerja di konsultan keuangan.
“Mar, ini maksudnya gue kena pajak? Freelancer juga harus ya?”
Damar bales cepat.
“Iya lah, Fa. Lo dapet penghasilan, berarti lo punya kewajiban. Apalagi kalau penghasilan lo udah di atas PTKP.”

Farah diem. PTKP? Apa lagi tuh?
Besoknya mereka ketemuan di sebuah kafe di Bekasi.
“PTKP itu Penghasilan Tidak Kena Pajak,” jelas Damar. “Kalau penghasilan lo di bawah batas ini, lo nggak kena pajak. Tapi kalau lebih, ya harus bayar.”
Farah langsung buka notes. “Jadi berapa batasannya?”
“Sekitar 54 juta setahun buat yang belum kawin. Kalau lo lebih dari itu, berarti harus lapor.”
Farah itung-itungan. Proyekan tahun lalu aja ada yang bayar 10 juta sekali desain. Belum yang retain per bulan. Oke, dia udah lewat batas.
Damar lalu buka laptopnya dan mulai jelasin satu-satu jenis Pajak Penghasilan alias PPh.
“PPh Pasal 21 itu buat orang pribadi, termasuk pegawai tetap, freelancer, sampe tenaga ahli. Jadi, semua bayaran yang lo dapet dari kerja lo, itu kena pasal ini.”
Farah nyengir. “Berarti semua invoice yang gue kirim ke klien lokal itu seharusnya udah include pajak dong?”
“Betul. Dan kalau klien lo nggak potongin, lo yang harus setor sendiri.”
Damar lanjut, “Kalau PPh Pasal 23 biasanya buat yang kerja sama dengan badan usaha. Misalnya lo bikin desain buat perusahaan, mereka potong 2% dari fee lo sebagai PPh 23.”
Farah makin ngerti. “Jadi kalau gue dapet fee 5 juta, dan mereka potong 100 ribu, itu artinya mereka udah bayarin pajak gue?”
“Yup. Tapi lo tetep harus dapet bukti potongnya buat lapor tahunan.”
baca juga
- Konsultan Pajak Bukan Buat Sultan Doang: Semua Orang Bisa Pake
- Terjebak Sengketa Pajak? Chill, Ini Cara Lo Bisa Lawan Lewat Jalur Litigasi
- Jual vs Sewa Properti Sama-Sama Kena Pajak Tapi Cara Kenaikannya Beda Gengs
- PPN 0% ITU BUKAN FREE PAJAK YAA, JANGAN KE-GASLIGHT SAMA ANGKA 0
- Deposito Kena Pajak? Gak Salah Baca, Bro! Cek Dulu Biar Gak Zonk Saat Dapet Bunga
Setelah itu, Damar menjelaskan tentang PPh Pasal 25.
“Ini advance payment. Jadi lo nyicil pajak tiap bulan. Cocok buat yang udah rutin dapet income tinggi.”
Farah mulai mikir. “Kayak angsuran pajak gitu?”
“Exactly. Supaya nanti pas akhir tahun lo nggak kaget harus bayar sekaligus.”
Terakhir, Damar bahas PPh Final dari Pasal 4 ayat 2.
“Ini pajak yang final. Biasanya buat penghasilan tertentu kayak bunga deposito, sewa tanah/bangunan, atau hadiah undian. Kalau freelancer kayak lo, bisa kena kalau kerjasama lo sifatnya tetap.”
Farah nanya, “Kenapa ya banyak temen gue yang freelance juga tapi cuek soal pajak?”
Damar jawab santai, “Karena nggak ngerasa sebagai ‘pelaku usaha’. Padahal realitanya, lo itu subjek pajak. Apalagi kalau lo punya NPWP dan pendapatan tetap.”
Farah diem. Ini semacam wake-up call. Selama ini dia fokus ke branding, client handling, dan portfolio. Tapi urusan pajak? Nol besar.
Damar lalu kasih satu analogi yang akhirnya bikin Farah mikir ulang.
“Bayar pajak itu kayak lo langganan Netflix. Lo bayar supaya bisa dapet akses ke fasilitas negara. Lo bisa apply KPR, urus visa, daftar BPJS, dan banyak hal legal lainnya. Kalau lo nggak patuh pajak, akses itu bisa ditolak.”
Farah geleng-geleng. “Selama ini gue pikir pajak cuma buat yang gajian di kantor doang.”
Damar kasih beberapa tips simpel biar Farah nggak salah langkah.
“Pertama, punya NPWP. Itu identitas lo sebagai wajib pajak. Wajib punya. Kedua, pisahin rekening pribadi dan bisnis. Supaya gampang tracking penghasilan. Ketiga, catat semua transaksi. Gunakan aplikasi pembukuan sederhana atau spreadsheet. Keempat, minta bukti potong pajak dari klien yang udah potong PPh 23 lo. Terakhir, lapor SPT Tahunan setiap Maret. Bisa online, gampang kok.”
Sebulan kemudian, Farah udah punya NPWP, mulai catat penghasilan, dan bahkan konsultasi sama konsultan pajak freelance buat bantu urus laporan tahunannya.
Dia juga mulai sharing pengalaman ini lewat Instagram Story-nya. Responsnya rame. Banyak followers-nya yang juga freelancer nanya hal yang sama.
Kadang, jadi profesional itu bukan soal seberapa bagus skill lo, tapi seberapa siap lo jalanin semua kewajiban, termasuk urusan pajak.
Pajak itu bukan kutukan. Justru itu tanda lo udah sampai di level baru. Lo diakui. Dan lo layak dapet akses penuh sebagai warga negara produktif.
Kalau kamu masih bingung soal jenis-jenis pajak penghasilan, ingat cerita Farah. Karena realita dunia kerja lepas dan UMKM hari ini nggak bisa dipisahkan dari sistem perpajakan. Pahami. Lapor. Bayar. Simple as that.
Dan siapa tahu, satu hari nanti kamu juga bisa bantu freelancer lain ngadepin reality check yang sama.