www.notarisdanppat.com – Dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentnag Fidusia dinyatakan bahwa Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Selanjutnya dalam Pasal ayat 2 dijelaskan bahwa Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Dalam konsep gadai (rahn) dalam Islam tidak dikenal istilah ini, yang ada setiap mengadaikan sesuatu berarti barang dan manfaat tidak boleh digunakan lagi oleh pemilik sebenarnya. Hal ini senada dengan hadist berikut:
Dari Anas,katanya:”Rasulullah telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang yahudi di Madinah, sewaktu beliau menghutang syair (gandum) dari seorang yahudi itu untuk keluarga beliau ”(HR. Ahmad,Bukhari,Nasaidan Ibnu Majah )
Teks hadist tersebut memberikan makna bahwa dalam rahn barang diserahkan kepada pemberi gadai sebagai jaminan atas hutang. Bahkan dalam satu hadist lain malah pemberi gadai lah yang berhak memanfaatkan harta gadai, bukan penerima gadai. Hadits tersebut sebagai berikut:
”Dari Abu Hurairah r.a,dari Nabi SAW,beliau bersabda, punggung binatang yang apat ditunggangi boleh ditunggangi bila ia digadaikan dan susu binatang-binatang ternak itu boleh diminum, bila ia digadaikan,dan orang yang menunggang dan meminum itu wajib atas nafkah (belanja) binatang- inatang yang digadaikan itu”.
Artinya, teks hadist tersebut membebani biaya perawatan barang gadai kepada si penerima gadai dan sekaligus bermakna bahwa penerima gadai boleh memanfaatkan barang yang digadaikan. Selanjutnya terkait dengan objek atau barang yang digadaikan, dapat dilihat dalam ketentuan sebagai berikut:
Ulama’ syafi’iyah berpendapat bahwa penggadaian sah apabila dipenuhi 3 syarat yaitu:
- Harus berupa barang;
- Penetapan kepemilikan penggadai atas barang yang digadaikan tidak terhalang;
- Barang yang digadaikan bisa dijual bila tiba masa pelunasan.
Dari tiga syarat tersebut tidak ada batasan lebih rinci apakah barang yang digadaikan benda bergerak atau bukan. Asalkan bisa dijual saat tiba masa pelunasan maka hal itu diperbolehkan.
Jadi jika melihat ketentuan dari dua hadist di atas terlihat bahwa Praktek Jaminan Fidusia yang berupa menyerahkan kepemilikan terhadap harta tanpa menyerahkan kepemililkan atas manfaat harta memang belum pernah terjadi dimasa Rasulullah Saw. Lalu bagaimana konteks hukum Jaminan Fidusia tersebut , sebagai sesuatu yang masih baru ?
Terkait dengan itu, salah satu lembaga Fatwa terbesar di Indonesia- Dewan Syariah Nasiona Majelis Ulama Indonensia (DSN-MUI) telah mengeluarkan Fatwa yang isinya hampir mirip dengan praktek Jaminan Fidusia. Hal tersebut terncantum dalam ketentuan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 68/Dsn-Mui/Iii/2008 Tentang Rahn Tasjily sebagai berikut:
Pertama | : | Ketentuan Umum Rahn Tasjily –disebut juga dengan Rahn Ta’mini, Rahn Rasmi, atau Rahn Hukmi— adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang, dengan kesepakatan bahwa yang diserahkan kepada penerima jaminan (murtahin) hanya bukti sah kepemilikannya, sedangkan fisik barang jaminan tersebut (marhun) tetap berada dalam penguasaan dan pemanfaatan pemberi jaminan (rahin). |
Kedua | : | Ketentuan Khusus Rahn Tasjily boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
|
Baca Juga
1. Konsep Pembagian Harta Bersama dalam KUHPerdata
2. Prosedur Eksekusi Harta Bersama Setelah Terjadi Perceraian
Jadi bila melihat ketentuan Rahn Tasjily sebagaimana dimaksud dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) tersebut di atas. Dapat dikatakan bahwa Jaminan Fidusia diperbolehkan berdasarkan pada fatwa Rahn Tasjily. Namun ada keterbatasan dari fatwa DSN-MUI tersebut di atas, keterbatasan yang dimiliki adalah sebagai berikut:
Jenis utang dan mekanisme pengikatan jaminan dalam undang-undang jaminan fidusia kontradiktif dikomparasikan dengan ketentuan syariah, khususnya terhadap Fatwa Rahn Tasjily. Prinsip syariah menganulir utang yang dapat dihitung saat eksekusi, berupa utang bunga dan biaya lain-lain, sebagai utang yang dapat dibebani rahn. Hal ini disebabkan utang tersebut bersifat riba dan gharar (tidak jelas). Kedua produk hukum tersebut harus diselaraskan dengan memasukkan penegasan jenis utang yang dapat dibebani rahn tasjily dan diwajibkan pengikatan rahn tasjily secara formal sebagaimana diterapkan dalam fidusia. Penerapan rahn tasjily pun harus dibatasi pada akad yang mengandung unsur utang-piutang, meliputi akad qardh dan akad al-bai’, yaitu murabahah bitsaman ‘ajil, salam, dan istishna’ pembayaran di muka serta istishna’ pembayaran tangguh. Pensyaratan jaminan selain kedua kelompok akad tersebut bisa diaplikasikan dengan akad kafalah.
Artinya dalam perspektif Hukum Islam tidak semua ketentuan Jaminan Fidusia bisa di aplikasikan. Akan tetapi terbatas pada hal-hal tersebut di atas.