ASPEK PERPAJAKAN PROPERTI

notarisdanppat.com – ASPEK PERPAJAKAN PROPERTI , Bisnis properti, sebagaimana kegiatan bisnis yang lainnya, juga tidak dapat dipisahkan dengan aspek perpajakan. Perusahaan properti (developer atau kontraktor) diwajibkan membayar Pajak Penghasilan untuk Badan Usaha (PPh-Badan).

Sedangkan perorangan yang bekerja di sektor properti sebagai pengelola, karyawan, pengawas, konsultan, tenaga ahli, arsitek, perancang interior, perancang taman, penilai, broker properti, dan lain-lain, dapat dikenakan Pajak Penghasilan untuk Orang (PPh-Orang). Perusahaan yang memasok bahan/material untuk pembangunan properti juga dapat terkena PPh-Badan dan juga

Pajak Pertambahan Nilai (PPN).



Objek properti berbentuk tanah dan atau bangunan yang dimiliki oleh para investor, perusahaan maupun masyarakat umum juga dapat terkena Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Tidak hanya itu, masyarakat yang ingin menjual aset properti juga diwajibkan membayar PPh-Final, sedangkan pihak yang membeli properti tersebut diharuskan membayar properti

Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Produk p baru yang dijual oleh developer juga dapat terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali produk properti tertentu khusus bagi MBR yang memang dibebaskan dari PPN. Sedangkan khusus untuk produk properti yang tergolong barang mewah dapat pula dikenakan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Pertumbuhan bisnis properti di Indonesia, juga dapat dipacu melalui insentif perpajakan. Berkaitan dengan hal ini, Menteri Keuangan telah mengeluarkan PMK Nomor 67/PMK.03/2011 yang mengubah besaran Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dari sebelumnya Rp12 juta menjadi Rp24 juta. Aturan baru ini mulai berlaku 1 Januari 2012.

Penyesuaian NJOPTKP dilakukan seiring dengan perkembangan ekonomi, moneter, dan harga umum obyek pajak. NJOPTKP merupakan pengurangan besarnya NJOP sebelum dikalikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sehingga NJOPTKP akan mengurangi besarnya PBB yang terutang.

Dengan kata lain, jika kita memiliki tanah dan atau bangunan senilai kurang atau sama dengan Rp24 juta maka kita tidak akan terkena kewajiban membayar PBB.

Sebaliknya jika kita memiliki tanah dan atau bangunan yang bernilai lebih dari Rp24 juta maka kita akan dikenakan PBB sebesar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dikurangi dengan Rp24 juta lalu dikalikan dengan tarif PBB yang berlaku saat itu.

Di samping itu, berdasarkan UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pengelolaan Pajak Bumi Bangunan Perkotaan-Pedesaan (PBB P2) mulai 1 Januari 2014 akan dialihkan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. UU Nomor 28/2009 juga mengamanatkan pengalihan pengelolaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah mulai 1 Januari 2011. Kebijakan ini diharapkan memperbesar peran Pemerintah Daerah dalam mendorong pembangunan sektor

perumahan dan permukiman.

Pada bab ini Penulis membahas pajak properti, yaitu PBB, BPHTB dan PPh-Final yang sebagian besar dikutip dari buku karya Penulis Bertiga berjudul “Panduan Lengkap Mengurus Dokumen Properti” yang diter- bitkan oleh Pustaka Yustisia, Yogyakarta, tahun 2012. Di samping itu Penulis juga menambahkan ulasan tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Investor pro- perti yang ingin mengetahui lebih mendalam tentang cara perhitung- an pajak properti dapat menghubungi Konsultan Pajak atau Notaris

terdekat.

A. PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)

Perorangan maupun Badan (lembaga/organisasi) yang memiliki tanah dan atau bangunan di daerah perkotaan maupun di pedesaan diwajib- kan untuk membayar pajak daerah bernama Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (atau lazim disingkat PBB). PBB adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau diman- faatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunak- an untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB) saat ini diatur dalam UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pasal 2 Ayat (2) huruf j UU Nomor 28/2009 menyatakan bahwa PBB merupakan salah satu jenis Pajak Daerah yang berhak dipungut oleh Pemerintah Daerah Tingkat 2 (Kabupaten/Kota).

Objek PBB adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/ atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dengan kata lain, kawasan yang digunakan untuk kegiatan lain seperti usaha pertanian, peternakan, dan perikanan darat, termasuk dalam obyek PBB, sehingga para pemilik lahan pertanian/ peternakan/perikanan darat dikenakan kewajiban membayar PBB.

Yang termasuk dalam pengertian Bangunan yang dapat dijadikan objek

PBB adalah:

1. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu

kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut,

2. jalan tol,

3. kolam renang,

4. pagar mewah,

5. tempat olahraga,

6. galangan kapal, dermaga,

7. taman mewah,

8. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak,

9. menara. 212

Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek pajak yang: 1. Digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan,

2. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan,

3. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu,

4. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak,

5. Digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik,

6. Digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.213

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar Rp10 juta untuk setiap Wajib Pajak PBB. NJOPTKP untuk masing-masing daerah selanjutnya ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah.214 Tentu saja Perda tersebut tidak boleh menetapkan NJOPTKP yang lebih rendah dari Rp10 juta. Saat ini sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67/PMK.03/2011 besaran NJOPTKP telah diubah menjadi paling rendah Rp24 juta.

Dengan kata lain, jika kita punya aset properti berupa tanah dan atau bangunan yang bernilai sama atau kurang dari NJOPTKP, maka kita tidak perlu membayar PBB. Sebaliknya, jika aset tanah dan atau bangunan kita bernilai lebih dari NJOPTKP maka kita diwajibkan membayar PBB sebesar Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dikurangi NJOPTKP kemudian dikalikan dengan tarif PBB yang berlaku saat itu. Besaran NJOP atas aset properti kita dapat diketahui dari surat tagihan PBB.

Subjek Pajak PBB adalah orang pribadi atau Badan yang dapat dikenakan Pajak PBB. Wajib Pajak PBB adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Karena PBB tergolong pajak daerah maka pengurusannya ditangani oleh Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) melalui Dinas yang mengurusi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). “Badan” adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya NJOP PBB ditetapkan setiap 3 tahun oleh Kepala Daerah (Bupati/ Walikota), kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap

tahun sesuai perkembangan wilayah. Tarif PBB ditetapkan paling tingg sebesar 0,3%. Tarif PBB untuk masing-masing daerah selanjutnya

baca juga

Berdasarkan SPOP itulah Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat Pem- ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Untuk PBB yang terutang mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) dalam hal-hal se- beritahuan Pajak Terutang (SPPT). Selanjutnya, Kepala Daerah dapat pengenaan

dihitung dengan cara mengalikan Tarif PBB dengan dasar pajak (NJOP PBB) setelah dikurangi NJOPTKP, atau sesuai rumus sebagai

berikut:

PBB = Tarif PBB x (NJOP PBB – NJOPTKP)

Contoh perhitungan: Pak Purnomo mempunyai 1 unit rumah dengan luas bangunan 200 m2 dan luas tanah 300 m2 dengan nilai jual di pasaran saat ini sebesar Rp460 juta. Pemerintah Daerah (Kabupaten/ Kota) setempat menetapkan NJOP PBB atas aset Pak Purnomo sebesar Rp224 juta (sesuai data yang tertera di surat tagihan PBB), dan NJOPTKP saat ini sebesar Rp24 juta serta tarif PBB sebesar 0,3%. Sehingga besaran PBB yang harus dibayarkan Pak Purnomo per tahun adalah 0,3% x (Rp224 juta – Rp24 juta) = 0,3% x Rp200 juta = Rp0,6 juta = Rp600 ribu.

Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP, adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. Besaran NJOP PBB ditetapkan oleh Pemerintah Daerah, sedangkan besaran NJOP pada perhitungan PPh-Final atau BPHTB ditentukan berdasarkan nilai transaksi jual-beli. Pendataan objek pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). SPOP harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada Kepala Daerah (Bupati/Walikota) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak. SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.

bagai berikut:

1. SPOP tidak disampaikan dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Kepala Daerah sebagaimana ditentukan dalam Surat

Teguran,

2. Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.215

Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT, adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.

B. BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

Jika terjadi transaksi jual beli aset properti berupa tanah dan atau bangunan, maka pihak pembeli diwajibkan membayar BPHTB sedang- kan pihak penjual diwajibkan membayar PPh-Final. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengaki- batkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan undang-undang di bidang bangunan.

Berdasarkan Pasal 2 Ayat (2) huruf k UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa BPHTB merupakan salah satu jenis Pajak Daerah yang boleh dipungut oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Pihak yang diwajibkan membayar BPHTB adalah pihak

yang menerima hak atas tanah dan/atau bangunan. Sebagai contoh terkena kewajiban membayar BPHTB karena merupakan pihak yang apabila terjadi peristiwa jual-beli tanah/bangunan maka pihak pembel menerima hak atas tanah/bangunan. Sedangkan pihak penjual sebagai pihak yang menyerahkan hak tersebut terkena kewajiban membayar

PPh-Final.

Objek BPHTB adalah perolehan hak atas Tanah dan/atau Bangunan

yang meliputi:

1. Pemindahan Hak karena:

a. jual beli,

b. tukar menukar,

c. hibah,

d. hibah wasiat,

e. waris,

f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain,

g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,

h. penunjukan pembeli dalam lelang,

pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap,

penggabungan usaha,

k. peleburan usaha,

1.

pemekaran usaha,

m. hadiah.

2. Pemberian Hak Baru, karena:

a. kelanjutan pelepasan hak,

216

b. di luar pelepasan hak.21

216 Lihat Pasal 85 ayat (1) dan (2) UU Nomor 28/2009.

Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang

diperoleh:

1. Perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan

timbal balik,

2. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum,

3. Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut,

4. Orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama,

5. Orang pribadi atau Badan karena wakaf,

6. Orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan

ibadah.

Subjek Pajak atau Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP pada BPHTB diperoleh dalam hal:

1. jual beli adalah harga transaksi,

2. tukar menukar adalah nilai pasar,

3. hibah adalah nilai pasar,

4. hibah wasiat adalah nilai pasar,

5. waris adalah nilai pasar,

6. pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar,

7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar,

8. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar



9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan

hak adalah nilai pasar,

10.pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nila

pasar,

11. penggabungan usaha adalah nilai pasar,

12. peleburan usaha adalah nilai pasar,

13. pemekaran usaha adalah nilai pasar,

14. hadiah adalah nilai pasar,

15. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi

tercantum dalam risalah lelang.

Jika NJOP tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, maka dasar pengenaan yang dipakai adalah NJOP PBB. Besarnya NJOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp60 juta untuk setiap Wajib Pajak BPHTB. Dalam hal perolehan hak yang diperoleh dari waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/ istri, maka NJOPTKP ditetapkan paling rendah sebesar Rp300 juta. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dalam kaitan pembayaran BPHTB untuk masing-masing daerah selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah,

Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5%. Tarif BPHTB bagi masing-masing daerah selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah.220 Perda tersebut tentu saja tidak boleh menetapkan tarif BPHTB yang lebih besar dari 5%. Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif BPHTB dengan dasar pengenaan pajak (NJOP) setelah dikurangi NJOPTKP. BPHTB yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat tanah dan/atau bangunan tersebut berada.

BPHTB

=Tarif BPHTB x (NJOP – NJOPTKP)

Contoh perhitungan: Pak Purnomo membeli 1 unit rumah milik Bu Hariyani dengan luas bangunan 200 m2 dan luas tanah 300 m2 seharga Rp460 juta. Sebagai pihak pembeli, Pak Purnomo akan dikenakan kewajiban membayar BPHTB sesuai rumus tersebut di atas yaitu BPHTB = Tarif BPHTB x (NJOP – NJOPTKP) = 5% x (Rp460 juta – Rp60 juta) = 5% x Rp400 juta = Rp20 juta.

Pada praktiknya, pihak pembeli dibantu dengan pihak penjual dan notaris seringkali melakukan rekayasa untuk menurunkan harga jual agar NJOP-nya bisa lebih rendah namun masih di atas NJOP PBB. Modus semacam ini meskipun umum terjadi namun tentu saja tidak layak dilakukan karena dapat mengurangi penerimaan negara. Rekayasa ini mengandung risiko terkena sanksi hukum dan dapat merugikan pembeli karena secara formal nilai aset yang dibeli akan dihargai rendah. Pajak BPHTB yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak. Saat terutangnya pajak BPHTB ditetapkan untuk:

1. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, 2. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta,

3. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, 4. hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta,

5. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan,

6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta,

7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta,

8. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pangadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap,



9. pemberian hak baru atas Tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pembe

rian hak,

10. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal

diterbitkannya surat keputusan pemberian hak,

11. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan di

tandatanganinya akta,

12. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya

akta,

13. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya

akta,

14. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta, 15. lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.221

PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan surat bukti pembayaran pajak. Kepala Kantor Lelang Negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan surat bukti pembayaran pajak (termasuk pajak PBB, BPHTB, dan PPh-Final).

Kepala Kantor Pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menye- rahkan surat bukti pembayaran pajak. PPAT/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara wajib melaporkan pembuatan akta lelang atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Kepala Daerah paling lambat pada tanggal 10 bulan berikutnya. Tata cara pel aporan bagi pejabat diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.222

C. PPH-FINAL PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/

ATAU BANGUNAN

Pajak Penghasilan final (PPh-Final) secara khusus dikenakan terhadap orang atau Badan yang bertindak selaku pihak penjual aset berupa tanah dan/atau bangunan. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa dalam proses jual beli tanah dan/atau bangunan, pihak penjual dikenakan PPh-Final sedangkan pihak pembeli dikenakan BPHTB. Pemungutan PPh-Final merupakan kewenangan Pemerintah Pusat melalui Ditjen Pajak sehingga pembayarannya disalurkan melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Hal ini berbeda dengan pemungutan PBB dan BPHTB yang merupakan pajak daerah sehingga menjadi kewenangan Pemerintah

Daerah (Kabupaten/Kota).

Saat ini pemberlakuan PPh-Final terhadap penghasilan yang diperoleh pihak penjual dalam transaksi jual-beli tanah dan/atau bangunan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2016. Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan pembayaran PPh-Final sebesar 2,5% dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Kecuali untuk pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana maka Wajib Pajak tersebut hanya dikenai PPh sebesar 1% dari jumlah bruto nilai pengalihan.223 Sebelumnya, wajib pajak terkena PPH-Final sebesar 5% berdasarkan PP Nomor 71/2008.

=

PPh-Final 2,5% x Jumlah Bruto Nilai Pengalihan Hak atas Tanah/Bangunan

Contoh perhitungan: Pak Purnomo membeli 1 unit rumah milik Bu Hariyani dengan luas bangunan 200 m2 dan luas tanah 300 m2 seharga Rp460 juta. Dalam kasus ini, Bu Hariyani sebagai pihak penjual diwajibkan membayar PPh-Final sebesar 2,5% x Rp460 juta = Rp11,5 juta. Dalam perhitungan PPh-Final ini tidak ada faktor pengurang seperti dalam perhitungan BPHTB.



Pihak-pihak yang dikecualikan dari kewajiban pembayaran

atau bangunan, meliputi:

atau

kurang

pemungutan PPh-Final dalam ransaksi pengalihan hak atas tanah dan 1. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya 2. orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dari Rp60 juta dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-

pihak yang bersangkutan,

3. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/ atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menter Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak- pihak yang bersangkutan,

4. pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris, 5. badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan Menteri Keuangan untuk menggunakan nilai buku,

6. orang pribadi atau badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan; atau orang pribadi atau badan

yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan.

“Rumah Sederhana” terdiri atas Rumah Sederhana Sehat dan Rumah Inti Tumbuh, yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai ketentuan peraturan perundang- undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan “Rumah Susun Sederhana” adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal termasuk Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami), yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari PPN sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.225

Nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasar- kan Akta Pengalihan Hak dengan NJOP tanah dan/atau bangunan bersangkutan sebagaimana dimaksud UU Nomor 12/1985 jo UU Nomor 12/1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, kecuali:

1. Dalam hal pengalihan hak kepada Pemerintah adalah nilai berdasarkan keputusan pejabat yang bersangkutan.

2. Dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Staatsblad Nomor 189 Tahun 1908 dengan segala perubahannya) adalah nilai menurut risalah lelang tersebut.

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) didasarkan pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB) tahun yang bersangkutan. Apabila SPPT-PBB yang dimaksud belum terbit, maka NJOP didasarkan pada SPPT-PBB pada tahun pajak sebelumnya. Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP-Pratama), maka NJOP yang dipakai adalah NJOP menurut surat keterangan yang diterbitkan KKP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.



D. PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (PPN)

(developer) akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar Secara umum produk properti baru yang dijual oleh para pengembang 10%. PPN akan dikenakan kepada pihak Pembeli (konsumen) dan tergolong Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan atau Rp600 juta juta per dipungut oleh pihak Penjual (developer) dengan catatan Penjual adalah tahun. PPN dipungut pada saat penerimaan uang muka maupun saat tergolong pengusaha yang memiliki penghasilan dari penjualan properti melebihi nilai pelunasan dan harus dibayarkan paling lambat

tanggal 15 bulan berikutnya.

Cara menghitung PPN adalah:

Apabila harga jual tidak termasuk PPN, maka berlaku rumus sebagai

berikut:

PPN=

Harga Jual x 10%

Apabila harga jual termasuk PPN, maka berlaku rumus sebagai berikut: PPN = (Harga Jual : Dasar Pengenaan Pajak) x 10%

“Dasar Pengenaan Pajak” adalah faktor pembagi harga jual sebesar 1,1 atau 110%.

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). NJOP PBB dapat dilihat pada lembar tagihan PBB. Apabila NJOP PBB lebih besar dari nilai transaksi maka dasar perhitungan pajak menggunakan NJOP PBB. Sebaliknya jika NJOP PBB lebih kecil dari nilai transaksi maka dasar perhitungan pajak menggunakan nilai transaksi.

Tidak semua produk properti dapat dikenakan PPN. Pemerintah cq Menteri Keuangan mengatur adanya perkecualian terhadap produk- produk properti tertentu yang dibebaskan dari kewajiban pembayaran PPN. Kebijakan khusus ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 125/PMK.011/2012 tentang Perubahan Ketiga atas

PMK Nomor 36/PMK.03/2007 tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya, yang atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Sesuai Pasal 2 PMK Nomor 125/PMK.011/2012 yang mulai berlaku 3 Agustus 2012 tersebut, Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah rumah yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan: 1. luas bangunan tidak melebihi 36 m2,

2. harga jual tidak melebihi:

a.

Rp88 juta yang meliputi wilayah Sumatra, Jawa, dan Sulawesi,

tidak termasuk Batam, Bintan, Karimun, Jakarta, Bogor, dan Depok.

b. Rp95 juta yang meliputi wilayah Kalimantan, Maluku, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat,

c.

Rp145 juta yang meliputi wilayah Papua dan Papua Barat,

d.

Rp95 juta yang meliputi wilayah Jakarta, Bogor, dan Depok, Tangerang, Bekasi, Bali, Batam, Bintan dan Karimun.

3. merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 tahun sejak dimiliki.

Pemerintah mengakui penetapan harga rumah tapak bebas PPN masih memicu penyelundupan hukum properti. Para konsumen yang membeli rumah cenderung memanipulasi transaksi agar tidak kena pajak (PPN). Hal ini bisa terjadi jika konsumen dan pengembang bekerjasama memanipulasi laporan transaksi, sehingga harga rumah direkayasa agar tidak terkena PPN 10%.



E. PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH (PPNBM)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (Rabu, 21 November 2018) menyatakan bakal segera menurunkan pajak penjualan rumah mewah, Penurunan pajak bakal dilakukan dengan menaikkan ambang batas harga hunian mewah yang terkena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) penjualan untuk

hunian mewah dengan harga di atas Rp5 miliar.

Sri Mulyani menjelaskan revisi akan dilakukan pada PMK Nomor 35/ PMK.010/2017 dan PMK Nomor 90/PMK.03/2015. Revisi pada PMK Nomor 35 akan mencakup perubahan batas harga rumah dan aparte- men mewah yang menjadi objek PPnBM dari masing-masing Rp20 mi- liar dan Rp10 miliar menjadi Rp30 miliar. Sementara revisi PMK Nomor 90 mencakup penurunan PPh penjualan rumah dan apartemen mewah dengan harga jual Rp5 miliar ke atas dari 5% menjadi 1%,227 Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Suahasil Nazara, mengatakan revisi pajak properti ini dimaksudkan agar hunian mewah bisa lebih terjangkau. Sektor properti dianggap memberikan kesempatan kerja yang banyak, sehingga penurunan pajak ini dapat memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang besar. Revisi pajak properti juga ditujukan untuk memperbaiki kondisi pasar properti. Saat yang ini penjualan rumah dari pengembang ke pembeli untuk rumah yang sangat mewah dikenakan PPnBM. Namun, rumah mewah bekas dijual antar individu tidak menjadi objek PPnBM, sehingga perputaran transaksi rumah mewah lebih banyak terjadi pada rumah mewah bekas. Hasilnya, pengembang properti lebih fokus menggarap rumah kelas menengah dan rumah murah. Padahal, rumah mewah menyumbang lebih banyak profit dibandingkan rumah murah dan kelas menengah,228 Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap produk properti saat ini diatur dalam PMK Nomor 35/PMK.010/2017 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang mulai

Berdasarkan aturan PMK Nomor 35/PMK.010/2017 tersebut, produk properti berupa hunian yang tergolong mewah akan dikenakan PPnBM sebesar 20%. Hunian mewah yang dimaksud meliputi: 1. Rumah dan town house dari jenis non-strata title dengan harga jual

sebesar Rp20 miliar atau lebih,

2. Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp10 miliar atau lebih. Perhitungan PPnBM mengikuti rumus sebagai berikut:

PPnBM = Harga Jual x 20%

Contoh perhitungan:

Harga jual 1 unit rumah mewah baru bertingkat dua di Jakarta Selatan dengan luas bangunan 600 m2 dan luas tanah 400 m2 dijual pengembang dengan harga Rp30 miliar sehingga akan terkena PPnBM. Dalam kasus ini PPnBM yang harus dibayarkan oleh Pengembang sebesar Rp30 miliar x 20% = Rp6 miliar.

PPnBM atas penyerahan apartemen, town house, rumah mewah dan kondominium juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2003 tanggal 20 Januari 2003 tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 145 Tahun 2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan PPnBM. Menurut ketentuan dalam PP ini penyerahan apartemen, town house, rumah mewah dan kondominium akan dikenakan PPnBM sebesar 20%.

PPnBM hanya dikenakan satu kali terhadap produk properti baru berupa hunian mewah yang dibeli dari pengembang (developer) dan yang memenuhi kriteria sebagai barang mewah. PPnBM tidak berlaku untuk transaksi jual beli properti antar perorangan. Hal ini sesuai dengan aturan Pasal 5 Ayat (2) UU Nomor 42/2009 tentang PPN dan PPnBM yang menyatakan bahwa PPnBM dikenakan hanya 1 kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.



Sebagai contoh:

sebuah town house mewah dibuat oleh pengembang dan dijual ke konsumen A, sehingga konsumen A akan diwajibkan membayar BPHTB 5%, PPN 10% dan PPnBM 20%. Jika konsumen A kemudian menjual kembali town house tersebut ke orang lain (misal Mister X), maka Mister X tidak perlu membayar lagi PPnBM 20% dan PPN 10%, tetapi cukup membayar BPHTB 5%, sedangkan pihak penjual (konsumen A) akan dikenakan PPh-Final sebesar 2,5%. Jadi, dalam hal ini PPN dan (developer) menyerahkan rumah mewah tersebut kepada konsumen A PPnBM hanya boleh dikenakan satu kali pada saat pihak pengembang

Perorangan atau Badan yang memiliki tanah dan/atau bangunan di daerah perkotaan maupun pedesaan wajib membayar pajak daerah bernama Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkoataan (disingkat PBB).

PBB adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. PBB diatur dalam UU Nomor 28/ 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek pajak yang: a) digunakan Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan, b) digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan,

c) digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau sejenisnya, d) merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak, e) digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik,

f) digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar Rp24 juta untuk setiap Wajib Pajak PBB.

Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya NJOP ditetapkan setiap 3 tahun oleh Kepala Daerah, kecuali untuk obyek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan wilayah.

Bangunan yang dapat dijadikan objek PBB adalah:

a) jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut, b) jalan tol,

c) kolam renang,

d) pagar mewah,

e) tempat olahraga,

f) galangan kapal, dermaga,

g) taman mewah,

h) tempat penampungan/kilang minyak,

air dan gas, pipa minyak,

i) menara.

Tarif PBB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3%. Tarif untuk setiap daerah selanjutnya ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

PBB Terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif PBB (0,3%) dengan dasar pengenaan pajak (NJOP PBB) setelah dikurangi NJOPTKP PBB Tarif PBB x (NJOP PBB-NJOPTKP)



Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan.

BPHTB diatur UU Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah BPHTB merupakan salah satu jenis Pajak Daerah yang boleh dipungut oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh: a) perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik, b) negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum,

c) badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan tersebut, d) orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama, e) orang pribadi atau Badan karena wakaf,

f) orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

Pihak yang wajib membayar BPHTB adalah pihak yang menerima hak atas tanah dan/atau bangunan. Contoh: apabila terjadi jual-beli tanah/ bangunan maka pihak pembeli diwajibkan membayar BPHTB karena merupakan pihak yang menerima hak atas tanah/ bangunan. Sedangkan pihak penjual sebagai pihak yang menyerahkan hak tersebut diwajibkan membayar PPh-Final.

Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya NJOP Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan paling rendah Rp60 juta untuk setiap Wajib Pajak BPHTB.

Dalam hal perolehan hak diperoleh dari waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, maka NJOPTKP ditetapkan paling rendah Rp300 juta.

Objek BPHTB meliputi:

1. Pemindahan Hak karena:

a) jual beli,

b) tukar menukar,

c) hibah,

d) hibah wasiat, e) waris,

f) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain,

g) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,

h) penunjukan pembeli dalam lelang,

i) pelaksanaan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap,

j) penggabungan usaha,

k) peleburan usaha,

1) pemekaran usaha,

m) hadiah.

2. Pemberian Hak Baru karena:

a) kelanjutan pelepasan hak,

b) di luar pelepasan hak.

Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5%. Tarif BPHTB setiap daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan Tarif PBB dengan NJOP setelah dikurangi NJOPTKP.

BPHTB= Tarif PBB x (NJOP-NJOPTKP)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *