3 (Tiga) Jenis Harta Waris yang Tidak Dapat di Bagi-bagi menurut Hukum Waris di Indonesia

www.notarisdanppat.com – Umumnya, bila kita mendengar istilah “waris” maka yang terbayang dipikiran kita adalah soal pembagian harta peninggalan. Namun, tiga jenis harta waris di tiga tempat ini menurut ketentuan hukum waris di Indonesia bertolak belakang dari pengertian tentang istilah “waris” yang selama ini kita bayangkan. Adapun tiga jenis harta peninggalan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Harta Pusaka di Minangkabau

Harta pusaka di Minangkabau ini tidak dapat di bagi-bagi seperti halnya ketentuan dalam sistem hukum waris Islam atau sistem hukum waris Barat. Harta pusaka di Minangkabau secara adat telah dianggap sebagai harta bersama yang tidak dapat di bagi secara individual kepada para ahli warisnya, harta waris ini menempati kedudukan seperti harta badan hukum.

  1. Tanah Dati di Ambon

Di Ambon/maluku terutama di daerah yang didiami pen-duduk yang beragam islam dijumpai kekayaan-kekayaan yang berupa tanah perkebunan yang tidak dapat dibagi waris kepada ahli warisnya se-cara individual. Tanah tersebut me-rupakan milik kelompok kekerabatan yang dikuasai oleh klen & sub klen. Sama halnya dengan harta pusaka, kedudukan Tanah Dati di Ambon menempati posisi harta seperti badan hukum.

  1. Barang Kalakeran di Minahasa

Barang kalakeran: harta benda keluarga yang tidak dapat dibagi-bagi. Berbeda dengan harta pusaka di Minangkabau, maka harta kalakeran dapat dibagi atas persetujuan yang berhak. Barang Kalakeran ini masih memiliki celah untuk dapat dibagi-bagi yakni dengan jalan musyawarah mufakat.

Kenapa harta waris di tiga tempat ini tidak dapat dibagi ? Apa alasannya ?. Untuk memahami hal tersebut harus dipahami terlebih dahulu ketentuan hukum waris yang berlaku di Indonesia.

Dari sisi historis menurut pasal 163 IS jo Pasal 131 yang merupakan aturan yang dikeluarkan oleh pihak Kolonial Belanda membagi penduduk Indonesia menjadi tiga golongan, yaitu:

  • Golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan mereka
  • Golongan Timur Asing Tionghoa dan yang Non-Tionghoa
  • Golongan Bumi Putera

Aturan tersebut kemudian dihapus dengan peraturan Perundang-undangan R. I. UU No. 62 / 1958 & Keppres  No. 240 / 1957 pembagian golongan penduduk. Sejarah tentang pembagian penduduk di Indonesia menunjukkan bahwa aturan hukum di Indonesia sejak dahulu memang sudah bersifat prular yang tentunya dilatarbelakangi oleh pluralitas penduduknya sendiri.

Oleh karena itu, hukum waris yang diberlakukan di Indonesia-pun juga bersifat plural. Saat ini, untuk hukum waris di Indonesia diberlakukan tiga dasar hukum yakni hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan adat dan kitab undang-undang hukum perdata (BW). Ketiga dasar hukum tersebut memiliki corak masing-masing sehingga terjadi perbedaan antara satu dan lainya.

Di Indonesia untuk mereka yang beragama Islam berdasarkan asas personalitas keislaman diberlakukan hukum kewarisan Islam. Dalam hukum kewarisan Islam semua harta waris harus dibagi secara individual sesuai dengan ketentuan yang diatur. Selanjutnya bagi golongan Eropa, separuh ketentuan hukum waris bagi mereka diserahkan pada kitab undang-undang hukum perdata. Dalam sistem hukum perdata ini hampir sama dengan hukum Islam seluruh harta warisan harus dibagi secara individual. Bagi golongan non-muslim diberlakukan hukum adatnya masing-masing dan dipengaruhi oleh agama dan kepercayaan.

Adanya ketententuan yang membolehkan hukum adat berperan dalam pembagian harta waris tersebutlah yang menjadi faktor utama di tiga tempat tersebut harta waris tidak dapat dibagi. Kenapa begitu ? mari kita pahami pengertian hukum adat berikut ini:

Menurut Teer Haar hukum waris adat adalah “Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengatur cara  bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan  yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi berikut”[1] Definisi tersebut memberikan pemahaman bahwa dalam hukum waris adat hak waris ternyata tidak hanya berkaitan dengan harta peninggalan dari seseorang yang telah mati, akan tetapi berkaitan pula dengan harta dari seseorang yang masih hidup.

Baca Juga Hukum Asuransi dalam Bisnis dan Investasi

Berkaitan dengan harta warisan yang tidak dapat dibagi sebagaimana dijelaskan di awal. Bahwa di Indonesia diberlakukan pula hukum kewarisan dengan sistem hukum adat dan menurut pengaturan dalam hukum adat dikenal adanya tiga sistem pembagian harta waris, yaitu:

  1. Sistem Pewarisan Individual

Dalam sistem pewarisan ini, maka masing-masing ahli waris secara individual akan memperolah harta warisan sesuai dengan bagiannya menurut hukum adat. Apakah ½ atau 1/3 seluruhnya diserahkan pada adat yang berlaku.

  1. Sistem Pewarisan Kolektif

Sistem ini merupakan pengalihan kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan, atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu. Sedangkan cara pemakaiannya diatur bersama atas dasar musyawarah. Sistem pewarisan adat yang seperti ini biasanya digunakan masyarakat adat Minangkabau, Ambon dan Minahasa yang dijelaskan di atas.

  1. Sistem Pewarisan Mayorat

Sebenarnya sistem pewarisan mayorat hampir sama dengan sistem kewarisan kolektif, hanya saja pengalihan harta yang tidak terbagi itu dilimpaahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin keluarga, menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga, yakni mengurus dan memelihara adik-adiknya sampai mereka dapat berdiri sendiri. Jadi disini, yang paling berhak mendapatkan dan menguasai harta pewaris adalah anak tertua dari pewaris tersebut.

Dengan demikian, yang menjadi alasan bahwa diperbolehkan adanya harta warisan yang tidak dapat dibagi di Indonesia adalah karena sistem hukum waris di Indonesia menganut tiga jenis sisitem hukum yaitu hukum Islam, hukum Adat dan KUHPerdata. Sedangkan harta warisan yang tidak dapat dibagi tersebut memang merupakan bagian dari sistem hukum waris adat yang berlaku di Indonesia.

Baca Lagi Hukum Perdagangan Dalam Bisnis Real

 

  1. Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan R. Ng Surbakti Presponoto, (Let. N. Voricin Vahveve: Bandung, 1990), h.47.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *